Mengapa dekat tempat kita duduk sebuah pintu air dibangun? Sungai di sebelah kita berasal dari mata air jauh, di antara lembah-lembah dataran tinggi malang, turun menikung tajam di sekitar Kesamben-Blitar, menikung lagi dengan tajam di Kediri, lalu terus, terus, dan dipecah menjadi dua: kali porong; sejarah panjang dialirkan di sungai ini! Jauh sebelum sampai kemari, sungai ini sudah membagi beban airnya dengan kali porong. Begitu masuk ke kota, beberapa pintu air didirikan; salah satunya berdiri tak jauh dari tempat kita duduk, sa. Apa jadinya tempat kita duduk, dan tempat-tempat lain di sekitar bantarannya, tanpa ada yang dibagi dan tanpa didirikan pintu-pintu air..?!
Kita tidak akan pernah duduk di sini, di antara api lilin yang bergoyang lemah di terpa angin lembab bulan februari, apalagi bercakap-cakap. Begitu juga geletar hasrat ini, naik dari kedalaman hati, lalu melewati hari-hari sepi, tertahan sekian waktu tanpa pertemuan...tapi pada permukaan sungai tidakkah kau lihat airnya bergejolak?
Seperti itu juga geletar hasrat di dalam sini. Terpecah dan tertahan. Bukan hanya karena kesonapan maupun etika, tapi juga untuk menjaga supaya percakapan yang mungkin terjadi di masa depan tetap lestari. Bisa saja aku berdiri dan memegang tanganmu. Atau menarik tanganmu dan merapatkan tubuhmu ketika kita berkendara pulang, atau...apapun yang mungkin dilakukan seorang lelaki pada perempuan yang digilainya (jika seperti ini, tidak ada lagi akal sehat, sa; situasi yang aku harapkan dengan takut-takut)!
Senin, 08 Februari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)