Senin, 20 Desember 2010

Asal Mula Bahasa

Sebagai alat interaksi yang bersifat terbuka dan produktif, bahasa telah berkembang sedemikian rupa. Dulu orang-orang menggunakan bentuk-bentuk bahasa tradisional seperti dalam menulis surat. Namun setelah diciptakannya teknologi telegram, bentuk-bentuk bahasa tradisional tersebut mengalami perubahan. Tuntutan untuk meminimalkan jumlah karakter yang ditulis menyebabkan kata-kata mulai dirampingkan dan bentuk-bentuk bahasa tradisional tidak lagi digunakan. Saat ini, dengan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin pesat, bentuk-bentuk bahasa mengalami perampingan secara massal. Hal serupa ini dapat ditemui dalam pesan-pesan singkat di telepon selular (Short Message Service).
Akibat kemajuan teknologi komunikasi perkembangan bahasa tidak hanya pada terbatas pada perampingan bentuk saja. Mudahnya berkomunikasi dengan masyarakat tutur lain (speech community) dapat menyebabkan makin bertambahnya perbendaharaan kosakata suatu masyarakat tutur tertentu lewat proses penyerapan bahasa. Kata-kata seperti outbond, tennis indoor, etc, sangat sering dijumpai pada masyarakat tutur bahasa Indonesia.
Perkembangan bahasa ini merupakan hal yang alamiah. Sesuai dengan sifatnya, bahasa memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan keinginan dan tuntutan masyarakat penggunanya. Tapi yang tidak banyak diketahui adalah, bagaimanakah asal mula bahasa sehingga berkembang sedemikian rupa seperti sekarang ini?
Belum ada teori yang menyatakan dengan pasti bagaimana bahasa bermula. Di dunia sekarang ini tidak ada masyarakat yang belum berbahasa sehingga dapat dipelajari bagaimana sebuah bahasa bermula. Suku-suku terasing yang diketahui sudah memiliki sistem bahasa yang kompleks. Tidak ada ilmuwan yang menemukan suatu masyarakat tertentu dalam keadaa tanpa bahasa. Lalu, jika tidak ada pengalaman empiris yang dapat menjadi fakta untuk menerangkan asal mula bahasa, bagaimanakah asal mula bahasa dapat diterangkan?
Seorang filsuf bahasa dari Inggris, James Haris, menjawab. Kemampuan manusia dalam menciptakan makna dan kata merupakan pemberian Tuhan. Jawaban yang sederhana. Dan merupakan kebenaran mutlak bagi yang beriman. Tapi, bagaimanakah cara Tuhan memberikan kemampuan itu kepada manusia, menjadi teka-teki yang sepertinya sulit untuk dijawab. Lalu, jika benar Tuhan menganugrahkan kemampuan itu kepada manusia, kapan anugrah itu diberikan? Apakah pada masa Kala Miosen 15 juta tahun yang lalu ketika keluarga kera besar berevolusi menjadi hominoid? Atau pada masaKala Plestosen Madya 1 juta tahun lalu ketika proto-hominoid pada akhirnya menurunkan empat ras manusia? (Kapakankah kau, hei Adam, memakan buah pengetahuan?)
Dipandang dari segi sejarah, asal mula bahasa berlangsung pada masa pra-sejarah. Mustahil menelusuri apa yang berlangsung di masa itu melalui catatan atau manuskrip yang ditinggalkan oleh masa itu. Apalagi mencari data-data bahasa yang dapat digunakan untuk mengkaji asal mula bahasa. Tulisan-tulisan kuno paling tua yang ditemukan berasal dari kebudayaan-kebudayaan besar kuno seperti Babilonia, Mesir, Cina, India, etc. itu pun paling jauh hanya mencapai 5000 tahun sebelum masehi. Singkatnya, bahasa tercipta pada masa gelap sejarah umat manusia. Merekonstruksi kejadian yang ada di sana berarti menjamah kegelapan di mana eksistensi yang berada di sana tidak terjamah oleh indra dan pengalaman manusia pada masa kini.
Meski demikian, tidak sedikit ilmuwan yang mencoba untuk menjamah kegelapan itu dan memetakannya. Namun karena keterbatasan fakta empiris, para ilmuwan hanya mampu sampai pada tahap hipotesis. Dengan kata lain (jika boleh disebut seperti ini) manusia belum tahu dengan pasti dari mana dia berasal dan bagaimana dia bisa berbahasa.
Ada beberapa teori yang coba menjawab asal mula bahasa. Ada teori onomatopetik yang menyatakan bahwa kata-kata diciptakan dengan meniru bunyi atau gema dari objek. Teori interyeksi menyatakan bahwa bahasa lahir dari ujaran instinktif karena tekanan-tekanan batin, perasaan yang mendalam, dank arena rasa sakit yang mendalam. Masih ada teori nativistik, teori Yo-He-Ho, teori isyarat, teori permainan vocal, teori isyarat oral, teori kontrol sosial, teori kontak, dan teori Hockett-Ascher. Dari semua teori tersebut, teori Hockett-Ascher lebih menyeluruh dan memperhitungkan evolusi yang dialami umat manusia.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Hockett dan Ascher disebutkan bahwa sebelum sampai pada perkembangannya bahasa mengalami sebuah proses yang disebut pra-bahasa. Kera-kera besar yang mendiami bumi berkomunikasi dengan isyarat yang disebut sistem call seperti yang nampak pada system call pada gibbon modern. Sistem komunikasi ini memiliki enam bentuk call: (1) makanan, (2) bahaya, (3) persahabatan, (4) untuk menunjukkan keberadaan, (5) perhatian seksual, dan (6) perlindungan.
Berbeda dengan bahasa modern, system call ini bersifat tertutup. Sebuah call hanya mungkin digunakan jika objek yang dikenai berada di depan mata. Call makanan misalnya, hanya digunakan jika ditemui adanya makanan. Begitu juga dengan call bahaya dan call-call yang lain. Sebuah call tidak dapat digunakan bersamaan. Pada masa itu belum dimungkinkan membuat ungkapan seperti, “Aku punya makanan, maukah kau bersahabat denganku,” seperti yang dilakukan oleh anak-anak untuk merayu temannya.
Ditinjau dari segi ini, sistem call belum memiliki ciri bahasa modern, yaitu pemindahan (replacement). Ciri pemindahan ini mengandung pengertian bahwa kita dapat berbicara dengan bebas mengenai sesuatu hal yang jauh dari pandangan kita, atau sesuatu yang berada di masa lampau, atau sesuatu yang berada di masa datang, bahkan mengenai sesuatu yang tidak ada. “Tapi kau harus duduk denganku besok di sekolahan,” lanjut anak itu berbicara tentang masa depan dengan makanan yang baru akan diberikan setelah sampai di rumah (kedua anak itu masih berbincang-bincang di sekolah).
Dengan sangat lambat system call yang bersifat tertutup perlahan-lahan mulai terbuka. Berlangsungnya proses ini bersamaan dengan perubahan iklim di muka bumi yang menyebabkan hutan-hutan menyempit dan memunculkan tempat-tempat terbuka.
Makin menyusutnya hutan ini menyebabkan makin ketatnya persaingan memperebutkan ruang hidup (lebensraum) bagi proto-hominoid. Yang lemah dan kalah pada akhirnya harus turun dari hutan dan mengembara di sabana-sabana terbuka.
Di sinilah babak baru kehidupan dimulai. Makhluk yang semula menggunakan tangannya untuk bergelantungan pada cabang-cabang pohon dan menggunakan mulutnya untuk membawa sesuatu kini harus menggunakan kedua kakinya untuk berjalan di padang-padang luas. Perlahan-lahan pula kedua tangannya difungsikan untuk membawa sesuatu. Pada masa ini juga proto-hominoid mengembangkan peralatan sederhana baik dari batu maupun dari tulang sisa hewan buruan mereka. Mereka pun juga mulai mengumpulkan makanan (di sini nampak bahwa proto-hominoid mulai mengenal konsep masa depan). Pada akhirnya, terbentuklah kebudayaan manusia.
Terbentuknya kebudayaan ini didukung oleh perkembangan alat berkomunikasi dari sistem call yang bersifat tertutup menjadi bersifat terbuka dan produktif, yang pada akhirnya membentuk pra-bahasa dan bahasa. Sistem call yang semula hanya memiliki enam bentuk call makin lama makin bertambah. Hal ini dikarenakan situasi dan pengalaman baru yang dihadapi. Pada suatu ketika mereka berada dalam situasi ‘ada makanan tapi ada hewan buas yang berarti ada bahaya’ namun mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan situasi tersebut ke anggota kelompok yang lain. Untuk memenuhi tuntutan tersebut diciptakanlah sebuah call baru yang memiliki ciri-ciri call makanan dan bahaya. Misalnya ditentukan bahwa ABCD adalah call makanan dan EFGH adalah call bahaya. Mereka menggabungkan sebagian ciri yang ada pada kedua call tersebut menjadi sebuah call baru seperti ABGH untuk menyebut ada makanan tapi ada bahaya.
Dengan kemampuan penggabungan ini menyebabkan perbendaharaan call yang dimiliki menjadi semakin banyak. Jika disepakati bahwa ABCD adalah makanan dan EFGH adalah bahaya maka dapat diturunkan bentuk seperti ABGH= ada makanan tapi ada bahaya, ABEF= ada makanan dan tidak ada bahaya, CDEF= tidak ada makanan tapi yang ada hanya bahaya, dan CDGH= tidak ada makanan dan tidak ada bahaya. Lalu peralatan-peralatan yang digunakan untuk berburu mulai diberi call (penanda). Begitu juga dengan buah-buah, binatang, maupun objek-objek yang ditemui selama perjalanan. Dan secara perlahan-lahan objek-objek abstrak seperti hari esok, cara berburu binatang, dan lain sebagainya diberi call.
Cara seperti inilah yang menghasilkan banyak perbendaharaan call pada proto-hominoid yang pada akhirnya menjadi sebuah bahasa yang digunakan oleh homo sapiens dan empat ras manusia di bumi. Namun perlu dicatat bahwa terus bertambahnya jumlah perbendaharaan call yang dimiliki sebuah bahasa dapat menyebabkan keruntuhan bahasa itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan itu para pengguna bahasa menciptakan morfem untuk menekan laju pertambahancall.
Contoh pada kata ‘kerja’, ‘mengerjakan’, ‘dikerjakan’, ‘pekerjaan’, ‘pengerjaan’, dan ‘kerjakan’ jika bentuk-bentuk yang berasal dari satu akar kata ini diberi penanda yang berbeda tentu jumlah perbendaharaan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa terlampau besar sehingga dapat meruntuhkan bahasa itu sendiri.
Pada catatan berikutnya akan coba diuraikan secara sederhana bagaimana penyebaran bahasa bangsa-bangsa yang semula bersatu lalu perlahan-lahan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Metode yang digunakan dalam dalam menganalisa penyebaran bahasa adalah metode leksikostatistik.
Surabaya, 15 Desember 2010

Senin, 13 Desember 2010

Hari Raya Kurban, Berkah bagi Masyarakat Pinggiran


Hari raya kurban membawa berkah tersendiri bagi masyarakat pinggiran Surabaya. Sujoto misalnya. Pria 54 tahun yang tinggal di wilayah Surabaya Timur ini mendapat berkah tersendiri dengan datangnya hari raya kurban.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga kebersihan di sebuah pertokoan ini tidak ingin ketinggalan dalam mengais rejeki di hari raya kurban. Sebanyak 17 ekor dari 26 ekor kambing yang dipelihara dengan sistem maron bati di rumahnya di kawasan Medokan Semampir Timur Dam diboyong ke lokasi penjualan di kawasan jalan Kedung Baruk dekat dengan TPS.
Berbekal beberapa helai pakaian, sebuah sarung, lampu senter, dan terpal plastik, dia tinggal di sana untuk menunggui kambing-kambingnya. Mulai tanggal 10 s/d 17 November, dia tinggal di lokasi penjualan yang disewa dari seorang warga Kedung Baruk. Namun dia tidak berjualan sendirian di sana melainkan bersama rekannya Mudjiono (56 tahun) warga Keputih Tegal Timur Baru. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan ini membawa serta 7 ekor kambing. “Sebenarnya 8 ekor yang mau dijual, tapi yang satu terkena penyakit gudik jadi tidak dibawa,” kata Mudjiono.
Meski pengunjung yang datang terbilang tidak ramai, namun satu per satu kambing yang mereka jual laku. Harga kambing yang mereka jual berkisar antara 800 ribu sampai 1,9 juta ribu rupiah. Sampai bakda hari raya (17/11) kambing yang mereka jual hanya tersisa 3 ekor. Sedangkan keuntungan yang didapat berkisar antara 100 ribu sampai 1 juta per ekor.
“Lebih enak dijual sendiri, untungnya bisa lumayan,” jawab Sujoto ketika ditanya kenapa tidak dijual ke tengkulak. Sujoto bercerita, sebelumnya sudah ada tengkulak yang bersedia membeli kambingnya. Namun harganya terlalu rendah, hanya 925 ribu per ekor baik besar mau pun kecil. “Dengan berjualan sendiri seperti ini kami jadi tahu harga pasaran,” tambah Sujoto. Lebih jauh, dia berkeinginan untuk berjualan lagi pada hari raya kurban tahun depan.
Total keuntungan yang didapat Sujoto selama tujuh hari sebesar 3,4 juta. Sedangkan keuntungan yang didapat Mudjiono sebesar 1 juta. Sebagian dari keuntungan yang didapat rencananya akan mereka gunakan untuk membeli kambing lagi. “Tepat hari raya kurban tahun depan, kambing yang dibeli nanti sudah cukup besar untuk dijual,” imbuh Sujoto.
Berkah hari raya kurban tidak hanya dinikmati oleh penjual hewan kurban saja. Cak Kholiq misalnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penarik sampah di wilayah Kedung Baruk dan tinggal di lapak tak jauh dari TPS Kedung Baruk ini turut kebagian rejeki. Dari pembelian kambing milik Sujoto dan Mudjiono, Cak Kholiq mendapat order mengirim kambing-kambing yang terjual. Dalam sekali pengiriman dia bisa mendapat upah antara 10-35 ribu. Tergantung dari jauh-dekatnya kambing yang diantar.
Nampaknya berkah hari raya kurban yang mengalir ke lapak-lapak dan kampung-kampung di pinggiran Surabaya tidak hanya selalu berupa daging. Hari raya kurban rupanya juga bisa menjadi media bagi masyarakat pinggiran untuk mencari rejeki.
Surabaya, 17 November 2010

HUJAN SELAMAM SUNTUK

Kursi, meja, kasur, pakaian, serta berbagai perabot rumah digelar di depan rumah. Sampah berserakan di jalanan. anak-anak nampak bergembira karena sekolah mereka mendadak libur. Pemandangan seperti ini dapat disaksikan di kawasan Simo pada jumat pagi 03/12.
Hujan deras disertai angin yang turun hampir sepanjang malam menyebabkan banjir setinggi 1 meter di kawasan ini. Akibatnya aktivitas warga yang terhenti pada pagi harinya. Banyak warga yang terpaksa tidak bekerja dan kembali sambil menuntun motornya. Sebuah sekolah Taman Kanak-kanak memasang papan pengumuman bertuliskan “hari ini sekolah libur karena banjir.” Di halaman sekolah bangku-bangku dijejer, kemudian buku-buku pelajaran dikeringkan. Beberapa orang tampak sibuk mengepel lantai kelas.
Hujan deras semalam juga melumpuhkan kegiatan di pasar simo. Banyak pedagang yang tidak berjualan. Manhuri, salah seroang pedagang di pasar simo, terpaksa memasukkan barang-barang dagangannya ke dalam rumah lagi. Tempat berjualannya yangberada di pinggir jalan tidak memungkinkannya untuk berjualan ketika hujan deras turun.
Sementara itu warga yang rumahnya kebanjiran terpaksa tidak tidur sepanjang malam. Bayu Kurniawan, salah seorang warga yang tinggal di kawasan Simo Hilir, menceritakan bahwa sepanjang malam dia hanya bisa melihat air masuk membanjiri rumahnya. Selain menunggu hujan reda dan memindahkan barang-barangnya ke atas lemari dia tidak dapat berbuat banyak. Baru setelah hujan reda dan genangan air di luar rumah surut, dia mulai menguras air yang menggenang di dalam rumahnya.
“Daerah ini sudah jadi langganan banjir,” katanya. “Untungnya tanggul sungai dan jembatan sudah ditinggikan, kalau tidak bisa lebih parah,” imbuh Bayu. Seringnya banjir di kawasan ini disebabkan kawasan ini merupakan daerah aliran air. Air dari wilayah Kupang Jaya mengalir ke utara melewati kawasan Simo Hilir.
Di jalan raya Simo Pomahan air menggenang setinggi 30 cm. akibatnya banyak pengendra mengalihkan rutenya lewat jalan simo gunung barat tol. Begitu juga dengan angkutan kota yang melintas di jalan itu. Beberapa sopir lyn I dan BP nampak mengalihkan rutenya untuk menghindari banjir. Sampai pukul 1 siang jalan raya Simo Pomahan masih tergenang banjir.
Surabaya, 03 Desember 2010

Cerita Seorang Kawan

Hari ini sebuah harian di kotaku memberitakan tindak kriminal pencurian. Biasanya aku tidak tertarik pada berita-berita yang disajikan harian itu. Mungkin ketidaktertarikanku didasari pada anggapan bahwa harian lain lebih berkelas untuk dibaca; anggapan yang keliru memang. Tapi begitulah yang terjadi. Misalkan saja harian itu dijajarkan dengan harian lain, tentu aku akan memilih harian lain, kecuali jika memang tidak ada lagi yang bisa dibaca.
Tapi hari ini aku tertarik pada harian itu. Bahkan semalam aku sudah menunggu untuk membaca berita yang mungkin ada di sana. Sebab yang diberitakan di harian itu adalah kawanku, kawan dekatku. Meski sudah menunggu semalaman, aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku atas berita ditangkapnya dia. “Akhirnya,” pikirku.
Sudah menjadi strategi pemasaran yang khas bagi penjual koran keliling untuk mendatangi kampung orang-orang yang diberitakan harian tersebut tinggal. Dan ketika penjual koran keliling itu sampai di depan rumah aku membelinya. Aku ingin mengetahui bagaimana dia diberitakan. Sebab aku sudah mengenal dia jauh sebelum timbul niatan untuk mencuri, bagaimana proses munculnya niatan itu, bagaimana keadaannya sesudah pencurian itu, sampai dia ditangkap dua hari lalu.
Sebagai kawan baik aku sudah berusaha mengingatkannya. Dipandang dari sudut manapun, perbuatan itu salah. Tapi dia bersikeras ingin melakukannya. “Ada yang lebih buruk dibandingkan mencuri,” elaknya. Dan dua hari setelah berbincang-bincang soal ingat-mengingatkan ini dia menemuiku dan mengatakan, dengan nada yang berharap supaya aku membenarkan perbuatannya, bahwa dia baru saja mencuri–nada harapan itulah yang terus bertalu-talu dalam telingaku.
“Aneh,” pikirku ketika itu. Seharusnya dia pergi sejauh mungkin dan bersembunyi di suatu tempat. Dia mengatakan bahwa si pemilik rumah, bekas majikannya, memergokinya. Tapi dia justru datang padaku dan mengajakku minum kopi di warung.
Mungkin pada saat itu bekas majikannya sedang melapor ke polisi. Mungkin, tepat ketika kami berdua duduk di warung kopi, polisi sudah mengirim orang untuk mencarinya. Kami tidak banyak berbicara ketika itu, melewatkan waktu dengan berdiam-diam, was-was; aku dengan kekhawatiranku sendiri dan dia dengan pikiran-pikirannya sendiri di sana.
Terus terang aku khawatir turut terciduk karena diduga sebagai komplotannya. Sekiranya dia ditangkap bersama aku, tidak akan ada satu pun yang dapat menyatakan bahwa aku tidak terlibat dengannya. Pasti ada pasal-pasal untuk menjeratku. Karena itu dudukku tidak tenang, dan dia membaca kekhawatiranku itu.
Aku merasa bersalah dalam hati. Seharusnya aku percaya bahwa dia tidak akan melibatkan aku sekiranya ditangkap saat itu. Tapi bisakah orang lain, orang-orang yang akan menangkap kami, percaya bahwa aku memang tidak terlibat; itulah persoalannya. Tapi meski mengetahui hal itu dia tidak juga pergi dariku, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Kasihan dia, umurnya masih begitu muda!” pikirku ketika menatap sosoknya di koran. Dia begitu lesu, lemah, lusuh, dan kalah. Esok atau lusa aku harus mengunjunginya. Sebab dia kawanku, dan dia menganggapku sebagai kawan baiknya. Mungkin di sana dia ingin bercakap-cakap dengan orang yang dapat bersikap ramah padanya sesudah pencurian itu, mungkin dia ingin berbicara dengan orang yang sudah begitu akrab dengannya. Lagipula siapa tahu dia membutuhkan sesuatu di sana, sesuatu yang tidak dapat dia minta pada orang lain kecuali aku.
“Kasihan dia,” pikirku lagi. Aku sudah meyakinkannya bahwa pencurian itu tidak perlu, hanya akan mengotori tangan sendiri, dan menjelaskan bahwa memang begitulah keadaan yang biasa terjadi antara majikan dan orang upahan. Tapi dia tidak dapat menerima argumen yang aku berikan begitu saja. Aku sendiri sadar tidak pantas bagiku menyederhanakan persoalan itu untuknya, dan persoalan itu memang tidak sesederhana itu, kecuali untuk kebaikannya sendiri. Sebab apa yang berlangsung di dalam dirinya hanya terjadi di sana dan bukan di tempat lain; hanya dia yang tahu seluruh persoalan itu lengkap dengan akibat-akibatnya. Sebab dialah subjek pengalam dari persoalan itu, dan hanya dia sendirilah yang bertanggungjawab atas perbuatannya, bukan orang lain.
Setelah diberhentikan dari pekerjaannya dia mengatakan banyak hal padaku, tentang semua hal yang pernah dikatakannya padaku. Dia menceritakan lagi tentang mesin penggilingan yang dia masuki kerikil, tentang bagaimana dia menyala-matikan mesin, tentang hasil-hasil gilingan yang dia ludah, tentang bahan-bahan gilingan yang dia kencingi, tentang semua hal yang menurutnya tepat untuk dilakukan. Dan dari semua yang dia katakan, yang paling mudah diingat adalah, “Orang-orang seperti itu tidak dapat dibiarkan!” Maka bibit-bibit kenekatan tumbuh dengan cepat.
Yang dia maksud dengan 'orang-orang seperti itu' adalah bekas majikannya. Sebelumnya sering sekali dia mengeluh tentang pekerjaannya. Dia merasa dicurangi oleh majikannya. Ketika sedang jengkel dia selalu mengajak aku minum kopi di warung dan meluapkan kejengkelannya. Dia merasa majikannya mempermainkan jumlah jam kerjanya yang tidak jelas tanpa upah lembur; ini yang paling sering aku dengar. Kemudia upah yang seharusnya dia terima diundur beberapa hari. Belum lagi omongan-omongan tak sedap yang harus dia terima; ini juga yang tak kalah sering aku dengar.
Jika sudah seperti itu, aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa memang begitulah keadaannya jika kita bekerja mengikuti majikan. Tapi dalam keadaan seperti itu, dia sudah tidak dapat ditenangkan lagi. Yang bisa aku lakukan hanyalah diam dan mendengar keluhan-keluhannya.
Sebenarnya keluhan-keluhan itu sudah begitu sering aku dengar sampai kadang-kadang aku tidak tahan lagi. Kalau sudah begitu, peranku bukan lagi pasif sebagai pendengar, tapi sebagai lawan bicara aktif yang tanpa sadar membuatnya makin berapi-api menelanjangi kecurangan majikannya–aku khawatir, jangan-jangan aku juga turut andil dalam menjadikannya sebagai seorang pencuri!
Pada dasarnya dia sadar bahwa dia berhutang budi pada majikannya. Dengan memberi dia pekerjaan, sang majikan telah menyelamatkan kehidupan eknominya. Meski tidak cukup tapi keadaannya lebih baik dibandingkan dia menganggur. Tapi justru hutang budi inilah yang pada gilirannya nanti menyakitinya dengan dalam. Sebab itu tidak memberi hak pada sang majikan untuk berbuat 'seenak udelnya' (kata-kata ini yang dia gunakan) pada orang lain. Sebab di sana dia diupahi karena pekerjaannya, sebab tenaga yang dia miliki dia kerahkan utuk pekerjaannya, sebab waktunya dia gunakan untuk mengabdi pada majikannya, bukan karena duduk diam berpangku tangan dia digaji. Seharusnya sang majikan memperlakukannya sebagai aset penting yang harus dijaga dan dipelihara, bukan seperti kain gombal yang setelah kotor dengan seenaknya saja dilontari kata-kata pedas.
Dia juga menganggap bahwa ternyata mesin-mesin itu lebih berharga dari dirinya. Jika mesin-mesin itu rusak atau rewel, dia harus mendengarkan omelan majikannya yang lalu memerintahkan supaya mesin itu segera diperbaiki; tanpa perintah dan omelan itu pun dia sudah akan memperbaikinya karena itu adalah kewajibannya sebagai pekerja, dan oleh karena itu hak-haknya sebagai manusia untuk mendapat perlakuan sopan harus didapatkan juga. Tapi jika dia yang tidak masuk kerja karena sakit atau terlambat datang karena sebab-sebab tak terduga, sang majikan mengomelinya tanpa memperhatikan jumlah jam kerja lebih yang tidak pernah dihitung. Mesin boleh rewel atau sakit dan dia akan memperbaikinya, tapi jika dia yang rewel atau sakit, sang majikan malah mengomelinya. Dia tidak habis pikir, “bukankah upah harian yang dipotong seharusnya cukup untuk membuat majikan tidak ngomel?!” Dia sendiri pun tidak ingin terlambat dan tidak ingin bolos karena hal itu akan merugikannya. Tapi pasti ada dalam satu hari saat-saat di mana dia tidak dapat pergi bekerja atau harus datang terlambat. Dia bukan mesin yang ketika sakit atau lelah hanya perlu diobati dan diistirahatkan saja. Dia juga bangunan mental di mana moral bekerjanya sangat mungkin mengalami penurunan; dan pada saat seperti inilah dia merasa tidak berharga bagi majikannya.
Sudah hampir dua tahun dia bekerja pada majikannya. Selama itu dia berusaha menjaga supaya tetap produktif ketika moral bekerjanya mengalami penurunan. Dia tidak ingin dicap tidak tahu balas budi dengan bekerja bermalas-malasan. Tapi mendekati akhir masa kerjanya, dia tidak lagi mempertahankan keseimbangan dirinya dan membiarkan dirinya dikuasai oleh suasana hatinya. Dia menjadi mudah sekali curiga dan tersinggung pada majikannya.
Dia mulai membandingkan antara tempat kerjanya dengan tempat-tempat kerja lain. Dia mengecam tidak adanya kontrak kerja antara majikan dan dirinya. Tanpa kontrak kerja itu dia merasa tidak ada kejelasan statusnya sebagai pekerja, juga tentang jumlah jam kerja, upah lembur yang mestinya didapat, batas-batas apa yang menjadi kewajibannya dan yang bukan, sangsi yang harus dia terima jika melanggar aturan tertentu, ataupun penghargaan karena telah bekerja lebih baik dari sebelumnya. Tanpa kontrak kerja dia melihat dirinya begitu lemah dan mudah ditekan. Pada batas-batas tertentu, dia melihat dirinya bukan lagi sebagai pekerja melainkan sebagai budak.
Pada tahap ini dia bukan lagi melihat majikannya sebagai majikan yang berlaku sewenang-wenang padanya, tapi juga sebagai kekuatan jahat yang mengeksploitasi dan menindasnya. Dia tidak dapat menerima hal ini. Sebab antara dia dan sang majikan memiliki hubungan saling ketergantungan. Dia membutuhkan gaji dan pekerjaan dari majikannya, dan majikannya membutuhkan dirinya untuk melakukan proses produksi dan mengawasi alat-alat produksi. Tanpa dia proses produksi tidak akan berjalan dan mesin-mesin itu tidak akan terpelihara. Tapi justru di sinilah dia merasa dirinya benar-benar lemah. Sebab dia, pribadinya sebagai pekerja, dapat digantikan oleh orang lain. Artinya, dia dapat disingkirkan sewktu-waktu sekiranya keberadaannya dirasa tidak lagi menguntungkan atau mengganggu. Melihat kesimpulan seperti itu dia merasa seluruh tenaga dan dan waktu yang dia habiskan tidak ada artinya.
Lalu mulailah dia memasukkan kerikil ke dalam mesin penggilingan supaya mesin itu cepat rusak. Atau memati-nyalakan mesin dengan tiba-tiba supaya biaya listrik naik. Atau meludahi hasil gilingan dan mengencingi bahan-bahan yang hendak digiling supaya terpuaskan sakit hatinya. Dengan berbuat begitu dia ingin menyatakan pada majikannya bahwa dia adalah aset yang paling berharga, yang lebih dari sekedar mesin-mesin itu. Berjalan atau tidaknya proses produksi, tinggi-rendahnya keuntungan yang didapat, bermula dari dia. Dialah yang sepanjang hari berada bersama alat-alat produksi dan bahan baku produksi. Dialah yang mengawasi seluruh tempat produksi ini sepanjang waktu; pemasaran boleh saja menjadi ujung tombak dari seluruh proses produksi, tapi dialah batu asah yang tak nampak di hadapan musuh. Dia berpikir, “jika majikan memiliki kekuatan untuk menindas, mengapa aku tidak!”
Maka perang dingin pun terjadi. Dia tidak lagi membantah omelan majikannya tapi berpikir, “bagaimana jika bahan-bahan yang hendak digiling dicampur kotoran kucing.” Dan tinggal menunggu waktu sebelum pikiran seperti itu diwujudkan. Esok, atau lusa, atau entah kapan, pasti pikiran itu akan dinyatakan dengan tindakan, jika sakit hatinya sudah tak tertahan lagi. Tidak ada yang tidak mungkin baginya sekarang. Dia tinggal menunggu alasan yang tepat untuk melakukannya.
Sebenarnya dia tidak ingin melakukan semua itu. Tapi suatu kesadaran tumbuh dalam dirinya, kesadaran bahwa pada dasarnya dia juga berkuasa atas majikannya. Penguasaannya pada alat-alat produksi dan proses produksi merupakan kekuatan, kekuatan yang dapat dia gunakan untuk melawan penindasan yang dilakukan sang majikan. Dia tidak akan melepas kekuatan itu begitu saja.
Lama-lama majikannya menjadi curiga. Sebab dia terlihat begitu angkuh dan melawan tiap kali diomeli. Sang majikan menduga ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang mungkin sangat merugikan. Mempekerjakan orang baru merupakan salah satu pilihan. Rotasi dapat menjadi alasan yang bagus.
Dari situ sang majikan mempekerjakan orang baru dengan tugas tambahan khusus: melaporkan keadaan di lapangan. Melalui pekerja baru ini sang majikan berharap dapat mengetahui ketidakberesan yang dicurigai ada di lapangan.
Bodohnya, dia terlambat menyadari hal ini. Dia begitu bangga dengan kekuatan yang ada padanya. Dia merasa bahwa seluruh buruh berada bersamanya, dan dia merasa berkewajiban menyampaikan pengertian tentang kekuatan yang dia dan semua buruh miliki pada orang lain, pada pekerja baru di tempat kerjanya.
Tidak dibutuhkan waktu lama bagi sang majikan untuk mengetahui ketidakberesan yang terjadi. Dari informasi yang didapat sang majikan menyimpulkan perbuatannya sebagai: sabotase.
Suatu hari dia dipanggil oleh majikannya. Melihat cara bicara majikannya yang begitu sopan dan bijak dia tidak menyadari bahwa majikannya menyembunyikan maksud memberhentikannya. Dia hanya melihat bahwa sikap lain yang ditunjukkan majikannya itu merupakan buah dari perlawanan yang dia lakukan. Dan dia menjadi begitu percaya diri. Dia berpikir, “Jika aku saja dapat melihat semua itu, tentu majikanku juga.” Berangkat dari situ, tanpa diminta, dia mulai menjelaskan apa yang sudah dia lakukan dengan kata-kata 'yang mungkin dia lakukan' jika sang majikan tidak mau melihat keberadaannya lebih manusiawi lagi. Dia begitu jauh dari daratan sehingga tidak menyadari bahwa sudut pandang seorang majikan dan seorang buruh berbeda.
Jelas sudah alasan bagi sang majikan untuk memberhentikannya. Begitulah dia dilereni, tanpa pesangon tanpa apa-apa. Tenaga, pikiran, dan waktu yang dia habiskan di tempat itu selama hampir dua tahun seolah-olah tidak ada artinya. Alasannya: kinerjanya mulai menurun. Dan dia tidak memprotes alasannya dilereni karena sadar bahwa dia sudah mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan majikannya, kebenaran bahwa dia juga berkuasa atas majikannya.
Tapi justru ketiadaan alasan inilah yang membuatnya nekat mencuri, dan mendapat pembenaran di dalamnya. Dia sudah bersedia berdamai dengan menyerahkan senjata yang dimilikinya dengan harapan bahwa majikannya akan mulai memperhatikan dirinya lebih manusiawi lagi. Tapi kesediaan damai itu malah direspon dengan melereni dirinya. Tidak dapat tidak dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang membuat majikannya sadar bahwa dia sudah mengenal sistem di tempat kerjanya.
“Kasihan dia,” pikirku. Judul berita tentang dia cukup menarik: TAK DAPAT PESANGON, RUMAH MAJIKAN DIBOBOL. Disebutkan alasannya mencuri: “sakit hati dan –lagi-lagi– kebutuhan ekonomi. Mungkin pada wartawan dan orang lain sang majikan akan menyebutnya sebagai orang yang tidak tahu balas budi. Tapi tidak akan ada yang menyebut tenaga dan waktu yang dia habiskan untuk majikannya, juga jam-jam lembur yang tidak dibayar, dan omelan-omelan yang memanaskan telinga; kecuali dalam igauan malam sang majikan, mungkin.
Sekarang dia akan dicap sebagai seorang pencuri, seorang kriminil; dan cap itu akan melekat selamanya. Alasan sakit hati dan ekonomi yang tertulis hanya akan membuat orang-orang yang membaca beritanya menyatakan bahwa sebenci dan semiskin apapun seseorang, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengambil milik orang lain. Tidak ada yang melihat bahwa dengan semua tindakan yang sudah dia lakukan itu dia ingin mengatakan sesuatu.
“Ah, benar-benar kasihan dia!” pikirku. Esok atau lusa aku harus mengunjunginya. Dia kawan dekatku dan dia banyak bercerita padaku. Mungkin dia butuh seseorang yang mau mendengar kata-kata yang diucapkannya, meski aku merasa bukan orang yang tepat untuk dapat mengerti apa yang hendak dia sampaikan itu.