Senin, 13 Desember 2010

Cerita Seorang Kawan

Hari ini sebuah harian di kotaku memberitakan tindak kriminal pencurian. Biasanya aku tidak tertarik pada berita-berita yang disajikan harian itu. Mungkin ketidaktertarikanku didasari pada anggapan bahwa harian lain lebih berkelas untuk dibaca; anggapan yang keliru memang. Tapi begitulah yang terjadi. Misalkan saja harian itu dijajarkan dengan harian lain, tentu aku akan memilih harian lain, kecuali jika memang tidak ada lagi yang bisa dibaca.
Tapi hari ini aku tertarik pada harian itu. Bahkan semalam aku sudah menunggu untuk membaca berita yang mungkin ada di sana. Sebab yang diberitakan di harian itu adalah kawanku, kawan dekatku. Meski sudah menunggu semalaman, aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku atas berita ditangkapnya dia. “Akhirnya,” pikirku.
Sudah menjadi strategi pemasaran yang khas bagi penjual koran keliling untuk mendatangi kampung orang-orang yang diberitakan harian tersebut tinggal. Dan ketika penjual koran keliling itu sampai di depan rumah aku membelinya. Aku ingin mengetahui bagaimana dia diberitakan. Sebab aku sudah mengenal dia jauh sebelum timbul niatan untuk mencuri, bagaimana proses munculnya niatan itu, bagaimana keadaannya sesudah pencurian itu, sampai dia ditangkap dua hari lalu.
Sebagai kawan baik aku sudah berusaha mengingatkannya. Dipandang dari sudut manapun, perbuatan itu salah. Tapi dia bersikeras ingin melakukannya. “Ada yang lebih buruk dibandingkan mencuri,” elaknya. Dan dua hari setelah berbincang-bincang soal ingat-mengingatkan ini dia menemuiku dan mengatakan, dengan nada yang berharap supaya aku membenarkan perbuatannya, bahwa dia baru saja mencuri–nada harapan itulah yang terus bertalu-talu dalam telingaku.
“Aneh,” pikirku ketika itu. Seharusnya dia pergi sejauh mungkin dan bersembunyi di suatu tempat. Dia mengatakan bahwa si pemilik rumah, bekas majikannya, memergokinya. Tapi dia justru datang padaku dan mengajakku minum kopi di warung.
Mungkin pada saat itu bekas majikannya sedang melapor ke polisi. Mungkin, tepat ketika kami berdua duduk di warung kopi, polisi sudah mengirim orang untuk mencarinya. Kami tidak banyak berbicara ketika itu, melewatkan waktu dengan berdiam-diam, was-was; aku dengan kekhawatiranku sendiri dan dia dengan pikiran-pikirannya sendiri di sana.
Terus terang aku khawatir turut terciduk karena diduga sebagai komplotannya. Sekiranya dia ditangkap bersama aku, tidak akan ada satu pun yang dapat menyatakan bahwa aku tidak terlibat dengannya. Pasti ada pasal-pasal untuk menjeratku. Karena itu dudukku tidak tenang, dan dia membaca kekhawatiranku itu.
Aku merasa bersalah dalam hati. Seharusnya aku percaya bahwa dia tidak akan melibatkan aku sekiranya ditangkap saat itu. Tapi bisakah orang lain, orang-orang yang akan menangkap kami, percaya bahwa aku memang tidak terlibat; itulah persoalannya. Tapi meski mengetahui hal itu dia tidak juga pergi dariku, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Kasihan dia, umurnya masih begitu muda!” pikirku ketika menatap sosoknya di koran. Dia begitu lesu, lemah, lusuh, dan kalah. Esok atau lusa aku harus mengunjunginya. Sebab dia kawanku, dan dia menganggapku sebagai kawan baiknya. Mungkin di sana dia ingin bercakap-cakap dengan orang yang dapat bersikap ramah padanya sesudah pencurian itu, mungkin dia ingin berbicara dengan orang yang sudah begitu akrab dengannya. Lagipula siapa tahu dia membutuhkan sesuatu di sana, sesuatu yang tidak dapat dia minta pada orang lain kecuali aku.
“Kasihan dia,” pikirku lagi. Aku sudah meyakinkannya bahwa pencurian itu tidak perlu, hanya akan mengotori tangan sendiri, dan menjelaskan bahwa memang begitulah keadaan yang biasa terjadi antara majikan dan orang upahan. Tapi dia tidak dapat menerima argumen yang aku berikan begitu saja. Aku sendiri sadar tidak pantas bagiku menyederhanakan persoalan itu untuknya, dan persoalan itu memang tidak sesederhana itu, kecuali untuk kebaikannya sendiri. Sebab apa yang berlangsung di dalam dirinya hanya terjadi di sana dan bukan di tempat lain; hanya dia yang tahu seluruh persoalan itu lengkap dengan akibat-akibatnya. Sebab dialah subjek pengalam dari persoalan itu, dan hanya dia sendirilah yang bertanggungjawab atas perbuatannya, bukan orang lain.
Setelah diberhentikan dari pekerjaannya dia mengatakan banyak hal padaku, tentang semua hal yang pernah dikatakannya padaku. Dia menceritakan lagi tentang mesin penggilingan yang dia masuki kerikil, tentang bagaimana dia menyala-matikan mesin, tentang hasil-hasil gilingan yang dia ludah, tentang bahan-bahan gilingan yang dia kencingi, tentang semua hal yang menurutnya tepat untuk dilakukan. Dan dari semua yang dia katakan, yang paling mudah diingat adalah, “Orang-orang seperti itu tidak dapat dibiarkan!” Maka bibit-bibit kenekatan tumbuh dengan cepat.
Yang dia maksud dengan 'orang-orang seperti itu' adalah bekas majikannya. Sebelumnya sering sekali dia mengeluh tentang pekerjaannya. Dia merasa dicurangi oleh majikannya. Ketika sedang jengkel dia selalu mengajak aku minum kopi di warung dan meluapkan kejengkelannya. Dia merasa majikannya mempermainkan jumlah jam kerjanya yang tidak jelas tanpa upah lembur; ini yang paling sering aku dengar. Kemudia upah yang seharusnya dia terima diundur beberapa hari. Belum lagi omongan-omongan tak sedap yang harus dia terima; ini juga yang tak kalah sering aku dengar.
Jika sudah seperti itu, aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa memang begitulah keadaannya jika kita bekerja mengikuti majikan. Tapi dalam keadaan seperti itu, dia sudah tidak dapat ditenangkan lagi. Yang bisa aku lakukan hanyalah diam dan mendengar keluhan-keluhannya.
Sebenarnya keluhan-keluhan itu sudah begitu sering aku dengar sampai kadang-kadang aku tidak tahan lagi. Kalau sudah begitu, peranku bukan lagi pasif sebagai pendengar, tapi sebagai lawan bicara aktif yang tanpa sadar membuatnya makin berapi-api menelanjangi kecurangan majikannya–aku khawatir, jangan-jangan aku juga turut andil dalam menjadikannya sebagai seorang pencuri!
Pada dasarnya dia sadar bahwa dia berhutang budi pada majikannya. Dengan memberi dia pekerjaan, sang majikan telah menyelamatkan kehidupan eknominya. Meski tidak cukup tapi keadaannya lebih baik dibandingkan dia menganggur. Tapi justru hutang budi inilah yang pada gilirannya nanti menyakitinya dengan dalam. Sebab itu tidak memberi hak pada sang majikan untuk berbuat 'seenak udelnya' (kata-kata ini yang dia gunakan) pada orang lain. Sebab di sana dia diupahi karena pekerjaannya, sebab tenaga yang dia miliki dia kerahkan utuk pekerjaannya, sebab waktunya dia gunakan untuk mengabdi pada majikannya, bukan karena duduk diam berpangku tangan dia digaji. Seharusnya sang majikan memperlakukannya sebagai aset penting yang harus dijaga dan dipelihara, bukan seperti kain gombal yang setelah kotor dengan seenaknya saja dilontari kata-kata pedas.
Dia juga menganggap bahwa ternyata mesin-mesin itu lebih berharga dari dirinya. Jika mesin-mesin itu rusak atau rewel, dia harus mendengarkan omelan majikannya yang lalu memerintahkan supaya mesin itu segera diperbaiki; tanpa perintah dan omelan itu pun dia sudah akan memperbaikinya karena itu adalah kewajibannya sebagai pekerja, dan oleh karena itu hak-haknya sebagai manusia untuk mendapat perlakuan sopan harus didapatkan juga. Tapi jika dia yang tidak masuk kerja karena sakit atau terlambat datang karena sebab-sebab tak terduga, sang majikan mengomelinya tanpa memperhatikan jumlah jam kerja lebih yang tidak pernah dihitung. Mesin boleh rewel atau sakit dan dia akan memperbaikinya, tapi jika dia yang rewel atau sakit, sang majikan malah mengomelinya. Dia tidak habis pikir, “bukankah upah harian yang dipotong seharusnya cukup untuk membuat majikan tidak ngomel?!” Dia sendiri pun tidak ingin terlambat dan tidak ingin bolos karena hal itu akan merugikannya. Tapi pasti ada dalam satu hari saat-saat di mana dia tidak dapat pergi bekerja atau harus datang terlambat. Dia bukan mesin yang ketika sakit atau lelah hanya perlu diobati dan diistirahatkan saja. Dia juga bangunan mental di mana moral bekerjanya sangat mungkin mengalami penurunan; dan pada saat seperti inilah dia merasa tidak berharga bagi majikannya.
Sudah hampir dua tahun dia bekerja pada majikannya. Selama itu dia berusaha menjaga supaya tetap produktif ketika moral bekerjanya mengalami penurunan. Dia tidak ingin dicap tidak tahu balas budi dengan bekerja bermalas-malasan. Tapi mendekati akhir masa kerjanya, dia tidak lagi mempertahankan keseimbangan dirinya dan membiarkan dirinya dikuasai oleh suasana hatinya. Dia menjadi mudah sekali curiga dan tersinggung pada majikannya.
Dia mulai membandingkan antara tempat kerjanya dengan tempat-tempat kerja lain. Dia mengecam tidak adanya kontrak kerja antara majikan dan dirinya. Tanpa kontrak kerja itu dia merasa tidak ada kejelasan statusnya sebagai pekerja, juga tentang jumlah jam kerja, upah lembur yang mestinya didapat, batas-batas apa yang menjadi kewajibannya dan yang bukan, sangsi yang harus dia terima jika melanggar aturan tertentu, ataupun penghargaan karena telah bekerja lebih baik dari sebelumnya. Tanpa kontrak kerja dia melihat dirinya begitu lemah dan mudah ditekan. Pada batas-batas tertentu, dia melihat dirinya bukan lagi sebagai pekerja melainkan sebagai budak.
Pada tahap ini dia bukan lagi melihat majikannya sebagai majikan yang berlaku sewenang-wenang padanya, tapi juga sebagai kekuatan jahat yang mengeksploitasi dan menindasnya. Dia tidak dapat menerima hal ini. Sebab antara dia dan sang majikan memiliki hubungan saling ketergantungan. Dia membutuhkan gaji dan pekerjaan dari majikannya, dan majikannya membutuhkan dirinya untuk melakukan proses produksi dan mengawasi alat-alat produksi. Tanpa dia proses produksi tidak akan berjalan dan mesin-mesin itu tidak akan terpelihara. Tapi justru di sinilah dia merasa dirinya benar-benar lemah. Sebab dia, pribadinya sebagai pekerja, dapat digantikan oleh orang lain. Artinya, dia dapat disingkirkan sewktu-waktu sekiranya keberadaannya dirasa tidak lagi menguntungkan atau mengganggu. Melihat kesimpulan seperti itu dia merasa seluruh tenaga dan dan waktu yang dia habiskan tidak ada artinya.
Lalu mulailah dia memasukkan kerikil ke dalam mesin penggilingan supaya mesin itu cepat rusak. Atau memati-nyalakan mesin dengan tiba-tiba supaya biaya listrik naik. Atau meludahi hasil gilingan dan mengencingi bahan-bahan yang hendak digiling supaya terpuaskan sakit hatinya. Dengan berbuat begitu dia ingin menyatakan pada majikannya bahwa dia adalah aset yang paling berharga, yang lebih dari sekedar mesin-mesin itu. Berjalan atau tidaknya proses produksi, tinggi-rendahnya keuntungan yang didapat, bermula dari dia. Dialah yang sepanjang hari berada bersama alat-alat produksi dan bahan baku produksi. Dialah yang mengawasi seluruh tempat produksi ini sepanjang waktu; pemasaran boleh saja menjadi ujung tombak dari seluruh proses produksi, tapi dialah batu asah yang tak nampak di hadapan musuh. Dia berpikir, “jika majikan memiliki kekuatan untuk menindas, mengapa aku tidak!”
Maka perang dingin pun terjadi. Dia tidak lagi membantah omelan majikannya tapi berpikir, “bagaimana jika bahan-bahan yang hendak digiling dicampur kotoran kucing.” Dan tinggal menunggu waktu sebelum pikiran seperti itu diwujudkan. Esok, atau lusa, atau entah kapan, pasti pikiran itu akan dinyatakan dengan tindakan, jika sakit hatinya sudah tak tertahan lagi. Tidak ada yang tidak mungkin baginya sekarang. Dia tinggal menunggu alasan yang tepat untuk melakukannya.
Sebenarnya dia tidak ingin melakukan semua itu. Tapi suatu kesadaran tumbuh dalam dirinya, kesadaran bahwa pada dasarnya dia juga berkuasa atas majikannya. Penguasaannya pada alat-alat produksi dan proses produksi merupakan kekuatan, kekuatan yang dapat dia gunakan untuk melawan penindasan yang dilakukan sang majikan. Dia tidak akan melepas kekuatan itu begitu saja.
Lama-lama majikannya menjadi curiga. Sebab dia terlihat begitu angkuh dan melawan tiap kali diomeli. Sang majikan menduga ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang mungkin sangat merugikan. Mempekerjakan orang baru merupakan salah satu pilihan. Rotasi dapat menjadi alasan yang bagus.
Dari situ sang majikan mempekerjakan orang baru dengan tugas tambahan khusus: melaporkan keadaan di lapangan. Melalui pekerja baru ini sang majikan berharap dapat mengetahui ketidakberesan yang dicurigai ada di lapangan.
Bodohnya, dia terlambat menyadari hal ini. Dia begitu bangga dengan kekuatan yang ada padanya. Dia merasa bahwa seluruh buruh berada bersamanya, dan dia merasa berkewajiban menyampaikan pengertian tentang kekuatan yang dia dan semua buruh miliki pada orang lain, pada pekerja baru di tempat kerjanya.
Tidak dibutuhkan waktu lama bagi sang majikan untuk mengetahui ketidakberesan yang terjadi. Dari informasi yang didapat sang majikan menyimpulkan perbuatannya sebagai: sabotase.
Suatu hari dia dipanggil oleh majikannya. Melihat cara bicara majikannya yang begitu sopan dan bijak dia tidak menyadari bahwa majikannya menyembunyikan maksud memberhentikannya. Dia hanya melihat bahwa sikap lain yang ditunjukkan majikannya itu merupakan buah dari perlawanan yang dia lakukan. Dan dia menjadi begitu percaya diri. Dia berpikir, “Jika aku saja dapat melihat semua itu, tentu majikanku juga.” Berangkat dari situ, tanpa diminta, dia mulai menjelaskan apa yang sudah dia lakukan dengan kata-kata 'yang mungkin dia lakukan' jika sang majikan tidak mau melihat keberadaannya lebih manusiawi lagi. Dia begitu jauh dari daratan sehingga tidak menyadari bahwa sudut pandang seorang majikan dan seorang buruh berbeda.
Jelas sudah alasan bagi sang majikan untuk memberhentikannya. Begitulah dia dilereni, tanpa pesangon tanpa apa-apa. Tenaga, pikiran, dan waktu yang dia habiskan di tempat itu selama hampir dua tahun seolah-olah tidak ada artinya. Alasannya: kinerjanya mulai menurun. Dan dia tidak memprotes alasannya dilereni karena sadar bahwa dia sudah mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan majikannya, kebenaran bahwa dia juga berkuasa atas majikannya.
Tapi justru ketiadaan alasan inilah yang membuatnya nekat mencuri, dan mendapat pembenaran di dalamnya. Dia sudah bersedia berdamai dengan menyerahkan senjata yang dimilikinya dengan harapan bahwa majikannya akan mulai memperhatikan dirinya lebih manusiawi lagi. Tapi kesediaan damai itu malah direspon dengan melereni dirinya. Tidak dapat tidak dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang membuat majikannya sadar bahwa dia sudah mengenal sistem di tempat kerjanya.
“Kasihan dia,” pikirku. Judul berita tentang dia cukup menarik: TAK DAPAT PESANGON, RUMAH MAJIKAN DIBOBOL. Disebutkan alasannya mencuri: “sakit hati dan –lagi-lagi– kebutuhan ekonomi. Mungkin pada wartawan dan orang lain sang majikan akan menyebutnya sebagai orang yang tidak tahu balas budi. Tapi tidak akan ada yang menyebut tenaga dan waktu yang dia habiskan untuk majikannya, juga jam-jam lembur yang tidak dibayar, dan omelan-omelan yang memanaskan telinga; kecuali dalam igauan malam sang majikan, mungkin.
Sekarang dia akan dicap sebagai seorang pencuri, seorang kriminil; dan cap itu akan melekat selamanya. Alasan sakit hati dan ekonomi yang tertulis hanya akan membuat orang-orang yang membaca beritanya menyatakan bahwa sebenci dan semiskin apapun seseorang, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengambil milik orang lain. Tidak ada yang melihat bahwa dengan semua tindakan yang sudah dia lakukan itu dia ingin mengatakan sesuatu.
“Ah, benar-benar kasihan dia!” pikirku. Esok atau lusa aku harus mengunjunginya. Dia kawan dekatku dan dia banyak bercerita padaku. Mungkin dia butuh seseorang yang mau mendengar kata-kata yang diucapkannya, meski aku merasa bukan orang yang tepat untuk dapat mengerti apa yang hendak dia sampaikan itu.

Tidak ada komentar: