Sebagai alat interaksi yang bersifat terbuka dan produktif, bahasa telah berkembang sedemikian rupa. Dulu orang-orang menggunakan bentuk-bentuk bahasa tradisional seperti dalam menulis surat. Namun setelah diciptakannya teknologi telegram, bentuk-bentuk bahasa tradisional tersebut mengalami perubahan. Tuntutan untuk meminimalkan jumlah karakter yang ditulis menyebabkan kata-kata mulai dirampingkan dan bentuk-bentuk bahasa tradisional tidak lagi digunakan. Saat ini, dengan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin pesat, bentuk-bentuk bahasa mengalami perampingan secara massal. Hal serupa ini dapat ditemui dalam pesan-pesan singkat di telepon selular (Short Message Service).
Akibat kemajuan teknologi komunikasi perkembangan bahasa tidak hanya pada terbatas pada perampingan bentuk saja. Mudahnya berkomunikasi dengan masyarakat tutur lain (speech community) dapat menyebabkan makin bertambahnya perbendaharaan kosakata suatu masyarakat tutur tertentu lewat proses penyerapan bahasa. Kata-kata seperti outbond, tennis indoor, etc, sangat sering dijumpai pada masyarakat tutur bahasa Indonesia.
Perkembangan bahasa ini merupakan hal yang alamiah. Sesuai dengan sifatnya, bahasa memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan keinginan dan tuntutan masyarakat penggunanya. Tapi yang tidak banyak diketahui adalah, bagaimanakah asal mula bahasa sehingga berkembang sedemikian rupa seperti sekarang ini?
Belum ada teori yang menyatakan dengan pasti bagaimana bahasa bermula. Di dunia sekarang ini tidak ada masyarakat yang belum berbahasa sehingga dapat dipelajari bagaimana sebuah bahasa bermula. Suku-suku terasing yang diketahui sudah memiliki sistem bahasa yang kompleks. Tidak ada ilmuwan yang menemukan suatu masyarakat tertentu dalam keadaa tanpa bahasa. Lalu, jika tidak ada pengalaman empiris yang dapat menjadi fakta untuk menerangkan asal mula bahasa, bagaimanakah asal mula bahasa dapat diterangkan?
Seorang filsuf bahasa dari Inggris, James Haris, menjawab. Kemampuan manusia dalam menciptakan makna dan kata merupakan pemberian Tuhan. Jawaban yang sederhana. Dan merupakan kebenaran mutlak bagi yang beriman. Tapi, bagaimanakah cara Tuhan memberikan kemampuan itu kepada manusia, menjadi teka-teki yang sepertinya sulit untuk dijawab. Lalu, jika benar Tuhan menganugrahkan kemampuan itu kepada manusia, kapan anugrah itu diberikan? Apakah pada masa Kala Miosen 15 juta tahun yang lalu ketika keluarga kera besar berevolusi menjadi hominoid? Atau pada masaKala Plestosen Madya 1 juta tahun lalu ketika proto-hominoid pada akhirnya menurunkan empat ras manusia? (Kapakankah kau, hei Adam, memakan buah pengetahuan?)
Dipandang dari segi sejarah, asal mula bahasa berlangsung pada masa pra-sejarah. Mustahil menelusuri apa yang berlangsung di masa itu melalui catatan atau manuskrip yang ditinggalkan oleh masa itu. Apalagi mencari data-data bahasa yang dapat digunakan untuk mengkaji asal mula bahasa. Tulisan-tulisan kuno paling tua yang ditemukan berasal dari kebudayaan-kebudayaan besar kuno seperti Babilonia, Mesir, Cina, India, etc. itu pun paling jauh hanya mencapai 5000 tahun sebelum masehi. Singkatnya, bahasa tercipta pada masa gelap sejarah umat manusia. Merekonstruksi kejadian yang ada di sana berarti menjamah kegelapan di mana eksistensi yang berada di sana tidak terjamah oleh indra dan pengalaman manusia pada masa kini.
Meski demikian, tidak sedikit ilmuwan yang mencoba untuk menjamah kegelapan itu dan memetakannya. Namun karena keterbatasan fakta empiris, para ilmuwan hanya mampu sampai pada tahap hipotesis. Dengan kata lain (jika boleh disebut seperti ini) manusia belum tahu dengan pasti dari mana dia berasal dan bagaimana dia bisa berbahasa.
Ada beberapa teori yang coba menjawab asal mula bahasa. Ada teori onomatopetik yang menyatakan bahwa kata-kata diciptakan dengan meniru bunyi atau gema dari objek. Teori interyeksi menyatakan bahwa bahasa lahir dari ujaran instinktif karena tekanan-tekanan batin, perasaan yang mendalam, dank arena rasa sakit yang mendalam. Masih ada teori nativistik, teori Yo-He-Ho, teori isyarat, teori permainan vocal, teori isyarat oral, teori kontrol sosial, teori kontak, dan teori Hockett-Ascher. Dari semua teori tersebut, teori Hockett-Ascher lebih menyeluruh dan memperhitungkan evolusi yang dialami umat manusia.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Hockett dan Ascher disebutkan bahwa sebelum sampai pada perkembangannya bahasa mengalami sebuah proses yang disebut pra-bahasa. Kera-kera besar yang mendiami bumi berkomunikasi dengan isyarat yang disebut sistem call seperti yang nampak pada system call pada gibbon modern. Sistem komunikasi ini memiliki enam bentuk call: (1) makanan, (2) bahaya, (3) persahabatan, (4) untuk menunjukkan keberadaan, (5) perhatian seksual, dan (6) perlindungan.
Berbeda dengan bahasa modern, system call ini bersifat tertutup. Sebuah call hanya mungkin digunakan jika objek yang dikenai berada di depan mata. Call makanan misalnya, hanya digunakan jika ditemui adanya makanan. Begitu juga dengan call bahaya dan call-call yang lain. Sebuah call tidak dapat digunakan bersamaan. Pada masa itu belum dimungkinkan membuat ungkapan seperti, “Aku punya makanan, maukah kau bersahabat denganku,” seperti yang dilakukan oleh anak-anak untuk merayu temannya.
Ditinjau dari segi ini, sistem call belum memiliki ciri bahasa modern, yaitu pemindahan (replacement). Ciri pemindahan ini mengandung pengertian bahwa kita dapat berbicara dengan bebas mengenai sesuatu hal yang jauh dari pandangan kita, atau sesuatu yang berada di masa lampau, atau sesuatu yang berada di masa datang, bahkan mengenai sesuatu yang tidak ada. “Tapi kau harus duduk denganku besok di sekolahan,” lanjut anak itu berbicara tentang masa depan dengan makanan yang baru akan diberikan setelah sampai di rumah (kedua anak itu masih berbincang-bincang di sekolah).
Dengan sangat lambat system call yang bersifat tertutup perlahan-lahan mulai terbuka. Berlangsungnya proses ini bersamaan dengan perubahan iklim di muka bumi yang menyebabkan hutan-hutan menyempit dan memunculkan tempat-tempat terbuka.
Makin menyusutnya hutan ini menyebabkan makin ketatnya persaingan memperebutkan ruang hidup (lebensraum) bagi proto-hominoid. Yang lemah dan kalah pada akhirnya harus turun dari hutan dan mengembara di sabana-sabana terbuka.
Di sinilah babak baru kehidupan dimulai. Makhluk yang semula menggunakan tangannya untuk bergelantungan pada cabang-cabang pohon dan menggunakan mulutnya untuk membawa sesuatu kini harus menggunakan kedua kakinya untuk berjalan di padang-padang luas. Perlahan-lahan pula kedua tangannya difungsikan untuk membawa sesuatu. Pada masa ini juga proto-hominoid mengembangkan peralatan sederhana baik dari batu maupun dari tulang sisa hewan buruan mereka. Mereka pun juga mulai mengumpulkan makanan (di sini nampak bahwa proto-hominoid mulai mengenal konsep masa depan). Pada akhirnya, terbentuklah kebudayaan manusia.
Terbentuknya kebudayaan ini didukung oleh perkembangan alat berkomunikasi dari sistem call yang bersifat tertutup menjadi bersifat terbuka dan produktif, yang pada akhirnya membentuk pra-bahasa dan bahasa. Sistem call yang semula hanya memiliki enam bentuk call makin lama makin bertambah. Hal ini dikarenakan situasi dan pengalaman baru yang dihadapi. Pada suatu ketika mereka berada dalam situasi ‘ada makanan tapi ada hewan buas yang berarti ada bahaya’ namun mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan situasi tersebut ke anggota kelompok yang lain. Untuk memenuhi tuntutan tersebut diciptakanlah sebuah call baru yang memiliki ciri-ciri call makanan dan bahaya. Misalnya ditentukan bahwa ABCD adalah call makanan dan EFGH adalah call bahaya. Mereka menggabungkan sebagian ciri yang ada pada kedua call tersebut menjadi sebuah call baru seperti ABGH untuk menyebut ada makanan tapi ada bahaya.
Dengan kemampuan penggabungan ini menyebabkan perbendaharaan call yang dimiliki menjadi semakin banyak. Jika disepakati bahwa ABCD adalah makanan dan EFGH adalah bahaya maka dapat diturunkan bentuk seperti ABGH= ada makanan tapi ada bahaya, ABEF= ada makanan dan tidak ada bahaya, CDEF= tidak ada makanan tapi yang ada hanya bahaya, dan CDGH= tidak ada makanan dan tidak ada bahaya. Lalu peralatan-peralatan yang digunakan untuk berburu mulai diberi call (penanda). Begitu juga dengan buah-buah, binatang, maupun objek-objek yang ditemui selama perjalanan. Dan secara perlahan-lahan objek-objek abstrak seperti hari esok, cara berburu binatang, dan lain sebagainya diberi call.
Cara seperti inilah yang menghasilkan banyak perbendaharaan call pada proto-hominoid yang pada akhirnya menjadi sebuah bahasa yang digunakan oleh homo sapiens dan empat ras manusia di bumi. Namun perlu dicatat bahwa terus bertambahnya jumlah perbendaharaan call yang dimiliki sebuah bahasa dapat menyebabkan keruntuhan bahasa itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan itu para pengguna bahasa menciptakan morfem untuk menekan laju pertambahancall.
Contoh pada kata ‘kerja’, ‘mengerjakan’, ‘dikerjakan’, ‘pekerjaan’, ‘pengerjaan’, dan ‘kerjakan’ jika bentuk-bentuk yang berasal dari satu akar kata ini diberi penanda yang berbeda tentu jumlah perbendaharaan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa terlampau besar sehingga dapat meruntuhkan bahasa itu sendiri.
Pada catatan berikutnya akan coba diuraikan secara sederhana bagaimana penyebaran bahasa bangsa-bangsa yang semula bersatu lalu perlahan-lahan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Metode yang digunakan dalam dalam menganalisa penyebaran bahasa adalah metode leksikostatistik.
Surabaya, 15 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar