Sabtu, 20 November 2010

Reality Show Kita

Rupanya pemirsa televisi kita tidak dapat lagi dipuaskan hanya dengan drama sinetron. Harus ada tangisan yang benar-benar tangisan, harus ada pertengkaran yang benar-benar pertengkaran, harus ada pihak-pihak jahat untuk dikalahkan, harus ada yang benar-benar jujur dan sabar yang pada akhirnya menang; baru dengan itu pemirsa dapat dipuaskan. Sebab dengan hanya menonton sinetron pemirsa menyadari bahwa adegan-adegan dalam sinetron itu hanyalah rekayasa. Dengan begitu berkuranglah kepuasan yang mungkin didapat dari hanya menonton sinetron.
Maka dibuatlah konsep tentang tayangan di mana tangisan yang ada merupakan tangisan yang sesungguhnya dan penderitaan yang ada merupakan penderitaan yang sebenar-benarnya: reality show. Dengan mengangkat realitas sebenarnya ke dalam layar kaca diharapkan tangisan, pertengkaran, dan segala hal yang ada di dunia nyata dapat ditampilkan dengan sebenar-benarnya, bukan dalam fiksi seperti dalam drama sinetron. Terpuaskankah permirsa dengan hiburan-hiburan ini?
Ya, sebab rating dalam tayangan-tayangan reality show cukup tinggi. Pada dasarnya dengan mengangkat realita sesungguhnya ke dalam konsep seperti reality shiw merupakan hal yang baik. Sebab pemirsa dapat membuka diri terhadap kenyataan bahwa hidup tidak semudah seperti tergambar dalam tayangan-tayangan sinetron. Tapi tayangan reality show ini bukan tanpa persoalan, bahkan persoalan yang ada tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kemampuan utama yang dimiliki oleh media dengan jangkauan yang cukup luas seperti televisi adalah kemampuannya membentuk opini publik. Ketika menyaksikan suatu fenomena yang ada di hadapannya, tanpa sadar pemirsa dilibatkan dalam fenomena yang disuguhkan tersebut. Mungkin keterlibatan itu berupa tindakan mental seperti munculnya rasa simpati atau mungkin juga keterlibatan itu berupa tindakan verbal seperti menyatakan bahwa si A bersalah dan sebagainya. Lebih jauh, keterlibatan itu dapat menjadi dasar dalam penilaian ketika dalam kehidupan sehari-hari pemirsa menghadapi fenomena yang hampir mirip dengan fenomena yang pernah dilihatnya.
Sepintas uraian di atas menunjukkan kenyataan yang terbalik. Artinya, berdasarkan pengalaman sehari-harilah penilaian pemirsa didasrakan ketika menilai fenomena yang diangkat dalam reality show. Jauh sebelum menyaksikan tayangan semacam realith show pemirsa sudah memiliki kategori-kategori baik dan buruk, salah dan benar, dan sebagainya. Reality show hanyalah ulangan dari fenomena yang terjadi di sekeliling pemirsa dalam kehidupan sehari-hari; namun realitas yang diangkat dalam reality show bukanlah realitas yang sebenarnya melainkan realitas yang berpihak. Dan frekwensi penayangan yang tinggi dan berulang-ulang dapat membentuk kesepakatan tertentu di kalangan pemirsa.
Konsep umum yang selalu ada dalam sebuah hiburan adalah, ada pihak-pihak menderita yang pada akhirnya menang, harus ada pihak-pihak yang diselamatkam, harus ada pihak-pihak yang dikalahkan. Konsep seperti ini menyederhanakan realitas, menjadikan hubungan antar-individu dalam tayangan reality show menjadi hubungan subjek-objek. Subjek inilah yang digambarkan kehidupannya secara lengkap, yang pa akhirnya nanti akan dimenangkan. Dan dimenangkan bukan berarti mendapatkan segala yang diinginkan, tapi juga simpati dari pemirsa.
Dengan mengkategorikan hubungan antar-individu ke dalam subjek-objek maka realitas yang dominan adalah realitas subjek. Realitas subjek digambarkan dengan detil dan dioposisikan dengan realitas objek yang kurang dominan. Objek tidak diberi kesempatan untuk menggambarkan kehidupannya. Hanya segi yang berkaitan dengan subjek saja yang digambarkan, selebihnya objek hanyalah sosok yang gelap, yang tidak diketahui kehidupannya, yang mana pada akhirnya dikalahkan oleh subjek. Sebab keberadaan objek hanya dimungkinkan dalam oposisinya dengan subjek. Sedang subjek dapat tetap ada tanpa kehadiran objek.
Contoh yang paling mudah adalah 'peminta-minta'. Subjek, peminta-minta, diidentifikasi dengan lengkap. Sedangkan objek yang dimintai sama sekali tidak diidentifikasi dan hanya ditampilkan dalam hubungannya dengan subjek. Yang tidak menguntungkan lagi, objek didatangi setelah subjek berlalu dan ditanyai apa alasannya tidak mau membantu subjek yang minta tolong padanya tadi.
Realitas apakah yang ditampilkan di sini? Realitas yang berpihak. Realitas yang memenangkan pihak tertentu dan mengalahkan pihak lain dengan strategi menghilangkan identifikasi pada pihak lain. Jika reality show bertujuan mengangkat realitas sebagaimana adanya, mengapa ada pihak-pihak yang 'dikalahkan'? Mengapa ada pihak-pihak yang tidak diidentifikasi secara utuh? Seorang pedagang bakso yang di rumah istri dan anaknya menahan lapar dipaksa membantu seorang bocah dengan membeli barang yang ditawarkan lebih dari harga biasanya; salahkah jika penjual bakso itu, yang mungkin saja laba yang didapat hari ini tidak cukup untuk menafkahi anak dan istrinya, tidak membantu gadis itu? Tidak! Siapapun tidak dapat disalahkan begitu saja jika tidak mau membantu gadis itu; mungkin justru penjual bakso itulah yang sebenarnya harus ditolong.
Tapi justru penilaian yang menyatakan bahwa penjual bakso itu salah inilah yang sepertinya hendak ditekankan. Penilaian seperti ini sangat mungkin ada di benak pemirsa ketika melihat gadis kecil itu berlalu tanpa mendapat pertolongan. Di sini persoalan yang ada bukan hanya hubungan subjek-objek saja, konsep reward and punishment merupakan bentuk penilaian yang hendak ditekankan pada pemirsa. Sebab ketika pada akhirnya ada objek yang bersedia membantu gadis itu, maka reward akan diberikan pada objek tersebut.
Mungkin pemirsa diarahkan untuk 'menghukum' objek yang tidak mau membantu gadis itu. Mungkin pemirsa diarahkan untuk bersikap sama jika dalam kehidupan sehari-hari ditemui fenomena serupa itu, di mana tiba-tiba muncul seseorang yang meminta bantuannya. Dalam kerangka pemikiran marxisme kesimpulannya bisa sangat berbeda.
Begitu juga dengan tayangan reality show yang lain. Individu dimasuki kehidupan pribadinya dan dijadikan objek yang dioposisikan dengan subjek. Dan subjeklah yang pada akhirnya harus menang. Dalam konsep fiksi, subjek dijadikan sebagai tokoh protagonis di mana simpati pemirsa diarahkan padanya sedangkan objek diposisikan sebagai tokoh antagonis, sebagai tokoh yang di akhir cerita harus menderita 'kekalahan'.
Dalam memilih acara hiburan untuk ditonton pemirsa harus lebih kritis. Kekritisan ini dapat melepaskan pemirsa dari konsensus tertentu yang (sadar atau tidak sadar) hendak dibentuk melalui tayangan-tayangan tertentu. Dengan begitu pemirsa dapat lebih arif dalam menilai fenomena yang disuguhkan padanya.
Surabaya, 22 Juni 2009

Catatan dari Bawah Tanah: Proses Kemenjadian Diri

Fyodor Dostoyevsky (1821-1881) merupakan seorang sastrawan eksistensial, terutama dalam novelnya Catatan dari Bawah Tanah. Iwan Simatupang dalam sebuah essainya menyebut tokoh dalam novel ini sebagai Manusia Souterrain. Tampaknya Iwan tertarik dengan sisi gelap tokoh aku dalam novel ini. Novelnya yang berjudul Kering diwarnai nuansa eksistensialisme Dostoyevsky.
Bagi pembaca Indonesia tampaknya novel-novel Dostoyevsky kurang populer dibandingkan karya-karya sastrawan Rusia lain seperti Tolstoy atau Chekov. Meski demikian karya-karya Dostoyevsky turut berpengaruh dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia, terutama pada novel-novel Iwan Simatupang. Sartre pun mengadopsi pemikiran Dostoyevsky dalam filsafatnya.
Kelebihan novel Catatan dari Bawah Tanah ini terletak pada analisis yang tajam terhadap kesadaran eksistensi manusia. Sebuah profil psikologis lengkap tentang seseorang yang hidup menyendiri di kota St. Petersburg pada suatu masa tertentu (abad 19) dapat ditemukan dalam novel ini. Pada awal sekali tokoh aku dalam novel ini sudah mengungkapkan jati dirinya dengan menulis, “Aku orang sakit..Aku seorang pendendam. Aku orang yang tidak menyenangkan.” Lebih jauh, ke-aku-an yang diungkapkan tokoh tersebut ternyata lebih dari sekedar luapan keputusasaan akibat tekanan dari kehidupan terpisah yang dipilihnya.
Novel pendek yang ditulis dalam bentuk catatan ini cukup menarik; ditulis oleh seorang tokoh berusia 40 tahun di mana di dalamnya berisi pandangan beserta pengalaman-pengalaman pahit di masa lalu, dan pikiran dan perasaan yang mungkin ada bersama pengalaman itu. Secara umum, keseluruhan isi novel ini bergerak menuju satu muara: mengantarkan pembaca pada pembentukan argumen yang dikemukakan tokoh aku di awal catatannya. Pemaparan watak, karakter, pandangan, perilaku, dan cara-cara tokoh berhadapan dengan realitas dimaksudkan untuk sampai pada argumen tersebut.
Secara objektif tokoh aku dalam novel ini tergambar negatif di depan pembacanya. Sebab yang hendak diungkapkan bukanlah sisi positif dirinya melainkan sisi negatif dirinya. Makna eksistensi individu ditemukan dalam hubungannya dengan orang lain, tapi siapa yang mau berkawan dengan seseorang yang penuh dengan prasangka buruk pada orang lain? Tapi justru itulah yang hendak disampaikan oleh Dostoyevsky. Jika Kierkegaard mengatakan tidak memahami kisah Abraham untuk mengungkapkan ironisme pemahamannya, ironisme tokoh Dostoyevsky terletak pada pengungkapan sisi negatif dirinya. Artinya, dalam berhubungan dengan orang lain individu harus diterima lengkap bersama sisi-sisi negatif dalam dirinya. Tanpa menerima sisi negatif itu hubungan antar-individu akan menjadi hambah, penuh kepura-puraan, dan tak bermakna; jelas bukan hubungan seperti ini yang dikehendaki Dostoyevsky.
Hubungan antar tokoh dalam novel ini merupakan usaha untuk mengungkapkan sisi negatif tersebut. Tokoh aku dalam novel ini memliki kecendrungan untuk menelanjangi orang lain. Penelanjangan tersebut dimaksudkan supaya orang lain juga memahami eksistensi diri yang lemah. Dengan menyadari kelemahan tersebut hubungan yang lebih bermakna baru mungkin tercapai. Individu di hadapan individu lain tidak harus membanggakan kelebihannya; sebab semua kelebihan itu tidak ada artinya ketika hanya ada 'aku' dan 'diriku sendiri'. Membanggakan diri pada diri sendiri dan orang lain hanyalah perbuatan sia-sia, palsu, dan tak bermolah–celakanya, justru inilah yang terjadi di sekeliling tokoh aku. “Hanya keledai dan bagal yang bersifat perwira, itu pun sampai mereka didesak ke dinding,” tulis tokoh aku dalam catatannya.
Tapi rupa-rupanya tokoh-tokoh yang dioposisikan dengan tokoh aku tidak mau(tidak dapat) memahami eksistensi diri yang lemah; mulai dari kerani yang tidak menyadari bahwa dirinya menjijikkan untuk dipandang, letnan berbadan tegap, dan Zherkov. Hanya pada tokoh Lizalah eksistensi diri yang lemah diakui–ada yang hendak disampaikan Dostoyevsky melalui tokoh Liza ini.
Hbungan yang alot antar tokoh dalam novel ini dapat dilihat dari konsep Sartre yang menyatakan bahwa neraka ialah sesama kita. Sebab hubungan antar-subjek berubah menjadi hubungan subjek-objek. Tokoh aku dalam novel ini tidak bersedia menerima dirinya dijadikan sebagai objek oleh individu lain. Dia tidak ingin keberadaannya dijadikan sebagai objek yang mendukung subjek tertentu, dia ingin berperan sebagai subjek juga. Hal ini nampak pada sikapnya yang lebih memilih diam daripada turut dalam pembicaraan antara atasannya dengan orang lain yang membicarakan kewajiban berlebih, usahanya berad bahu dengan letnannya, serangannya pada Zherkov, dan usahanya untuk menaklukan 'Liza yang malang'.
Sayangnya dari semua usaha mensejajarkan diri itu hanya satu yang berhasil, yaitu pada Liza seorang. Dengan letnannya tokoh aku hanya memperoleh kepuasan palsu, pada atasannya dia tidak memiliki kuasa untuk mengubah topik pembicaraan, dan pada Zherkov dia ditinggalkan seorang diri dalam keadaan setengah mabuk. Maka tercptalah neraka dalam hubungan dengan 'dunia luar'. Sebab dunia luar tidak bersedia mengakui esksistensinya sebagai subjek. Dunia luar mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya. Dia tidak sepakat bahwa penampilan seseorang harus seperti ini atau itu, dia tidak sepakat bahwa sudah menjadi nasib bagi seorang bawahan untuk selalu menjilat atasannya, dia tidak sepakat bahwa keberhasilan seseorang dinilai dari pangkat yang didapat, dia tidak sepakat bahwa orang-orang seperti Zherkovlah orang yang patut dipuji dan diikuti. Dalam kekalahannya tokoh aku menulis, “Jadi begini rupanya, akhirnya terjadi juga–hubungan dengan hidup sesungguhnya.”
Kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya inilah yang disebutnya sebagai hukum alam, hukum yang melukainya dengan dalam. Pada dasarnya kesepakatan-bersama itu baik karena mengarahkan orang-orang pada pandangan positif, tapi bukan berarti dia tidak dapat mencibir dan menjulurkan lidahnya pada kesepakatan-bersama itu. Dia merasa dirinya bukan tuts piano yang begitu ditekan mengeluarkan nada tertentu. Artinya, jika suatu kekuatan asing mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama itu, dia memiliki kebebasan untuk tidak mengarah ke sana. Sebab eksistensi dirinya memang tidak terarah ke sana. Dia melihat orang-orang di sekelilingnya menjalai hidup yang tidak otentik dan merasa nyaman di dalamnya, karena itu dia memilih memisahkan diri.
Secara psikologis dapat dibantah bahwa tokoh aku membenci kesepakatan bersama karena dia tidak berada pada posisi di mana ide-idenya diikuti dijadikan sebagai kesepakatan-bersama. Sekiranya berada pada posisi yang diikuti tentu dia akan mencemooh habis-habisan orang-orang yang menentangnya. Tapi justru di sinilah eksistensialisme dalam novel ini bergerak. Dalam konsep Kierkegaard dikatakan bahwa putus asa adalah kebalikan dari mau menjadi diri sendiri sebagaimana adanya. Tokoh aku berusaha keras menjadikan dirinya sebagai pihak yang diikuti dan dibanggakan orang lain. Tapi tidak dapat tidak dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya lemah dan terasing. Ide-idenya tidak akan diikuti karena hanya akan mengantarkan orang lain pada sisi gelap masing-masing–tokoh Simonov meninggalkannya setelah berhasil ditaklukkan.
Keputusasaan ini mengantarkan tokoh aku ditepi jurang hidupnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menahannya untuk tidak jatuh kecuali dirinya sendiri. Dan pada tahap-tahap tertentu dia tidak lagi takut pada 'kemungkinan' kejatuhan dirinya; sebaliknya, malah menemukan kenikmatan di dalam pesaran kehinaan itu.
Ditinjau dari konsep Kierkegaard, keputusasaan tokoh aku dalam novel ini merupakan keputusasaan yang disadari dan negatif sifatnya. Dia sadar bahwa dia berputusasa, dan ingin mengantarkan orang lain pada keputusasaannya masing-masing, tapi tidak menyadari bahwa orang-orang lain itu pada dasarnya pernah berada dalam putus asa juga. Dia tidak habis pikir, bagaimana orang lain bisa tidak menyadarinya. Karena itu dia menganggap kesadaran yang dimilikinyalah kesadaran yang paling tinggi dan, dengan gaya ironis, menyatakan bahwa seorang lelaki cerdas, sebagai akibat kesadarannya yang tajam, tidak mungkin bisa menjadi apa-apa.
Sikap tokoh aku dalam menghadapi keputusasaannya itu bersifat menentang. Kita andaikan bahwa penulis catatan itu adalah seorang lelaki berusia 40 tahun yang sebagian profilnya sudah kita ketahui; lelaki ini, daripada menerima dengan pasrah keadaan dirinya yang tersakiti, memilih menentang tingkah nasib padanya. Penderitaannya dia terima dengan bersikap melawan. “Setiap saat aku sadar akan unsur yang banyak, banyak sekali, yang bertentangan dengan hal itu,” tulisnya. Lebih jauh lagi dia menulis, “Aku tahu mereka selama hidupku berkumpul dalam diriku dan mencari jalan untuk keluar, tapi aku tidak akan membiarkan mereka keluar, dengan sengaja.”
Dengan ide seperti itulah tokoh aku ingin dipuji dan diikuti. Seperti Kierkegaard dan Sokrates, tokoh aku dalam novel ini menyampaikan pengertian tentang eksistensi manusia dengan gaya yang ironis. Tapi usahanya itu tidak dihargai dan malah berakibat pengucilan padanya, karena itu dia merasa putus asa. Sebab dia tidak dapat menjadi seperti yang diinginkannya sendiri. Pada akhirnya, setelah terdorong sedemikian rupa hingga ke tepi jurang kehidupannya, dia melakukan lompatan eksistensial dengan menuliskan dalam catatannya, “Aku orang sakit...”
Kesimpulannya, novel Catatan dari Bawah Tanah ini merupakan perjalanan tokoh aku dalam menjadi diri sendiri. Kemenjadian ini dilewati melalui proses hubungan dengan individu lain. Namun proses menjadi diri sendiri ini belum usai selama tokoh aku tersebut hidup. Sebab pengalaman tokoh aku belum usai, pengalaman itu tak terbatas dan tak selesai; menulis catatan merupakan salah satu cara melestarikan hubungan dengan diri sendiri. Sartre mengatakan, aku bukan diriku, dan aku akan menjadi diriku. Dalam catatannya tokoh aku menulis, “Aku akan lebih bisa mengkritik diriku sendiri, dan memperbaiki gayaku. Di samping itu, siapa tahu dengan menulis aku dapat memperoleh rasa lega.” dengan membuat catatan tersebut tokoh aku berusaha menuju ke arah 'akan menjadi diri' dengan jalan mengabstraksi pengalaman-pengalamannya yang sudah dilaluinya untuk menapak pengalaman-pengalaman yang akan didapatnya.
Surabaya, 10 Juli 2009