Rupanya pemirsa televisi kita tidak dapat lagi dipuaskan hanya dengan drama sinetron. Harus ada tangisan yang benar-benar tangisan, harus ada pertengkaran yang benar-benar pertengkaran, harus ada pihak-pihak jahat untuk dikalahkan, harus ada yang benar-benar jujur dan sabar yang pada akhirnya menang; baru dengan itu pemirsa dapat dipuaskan. Sebab dengan hanya menonton sinetron pemirsa menyadari bahwa adegan-adegan dalam sinetron itu hanyalah rekayasa. Dengan begitu berkuranglah kepuasan yang mungkin didapat dari hanya menonton sinetron.
Maka dibuatlah konsep tentang tayangan di mana tangisan yang ada merupakan tangisan yang sesungguhnya dan penderitaan yang ada merupakan penderitaan yang sebenar-benarnya: reality show. Dengan mengangkat realitas sebenarnya ke dalam layar kaca diharapkan tangisan, pertengkaran, dan segala hal yang ada di dunia nyata dapat ditampilkan dengan sebenar-benarnya, bukan dalam fiksi seperti dalam drama sinetron. Terpuaskankah permirsa dengan hiburan-hiburan ini?
Ya, sebab rating dalam tayangan-tayangan reality show cukup tinggi. Pada dasarnya dengan mengangkat realita sesungguhnya ke dalam konsep seperti reality shiw merupakan hal yang baik. Sebab pemirsa dapat membuka diri terhadap kenyataan bahwa hidup tidak semudah seperti tergambar dalam tayangan-tayangan sinetron. Tapi tayangan reality show ini bukan tanpa persoalan, bahkan persoalan yang ada tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kemampuan utama yang dimiliki oleh media dengan jangkauan yang cukup luas seperti televisi adalah kemampuannya membentuk opini publik. Ketika menyaksikan suatu fenomena yang ada di hadapannya, tanpa sadar pemirsa dilibatkan dalam fenomena yang disuguhkan tersebut. Mungkin keterlibatan itu berupa tindakan mental seperti munculnya rasa simpati atau mungkin juga keterlibatan itu berupa tindakan verbal seperti menyatakan bahwa si A bersalah dan sebagainya. Lebih jauh, keterlibatan itu dapat menjadi dasar dalam penilaian ketika dalam kehidupan sehari-hari pemirsa menghadapi fenomena yang hampir mirip dengan fenomena yang pernah dilihatnya.
Sepintas uraian di atas menunjukkan kenyataan yang terbalik. Artinya, berdasarkan pengalaman sehari-harilah penilaian pemirsa didasrakan ketika menilai fenomena yang diangkat dalam reality show. Jauh sebelum menyaksikan tayangan semacam realith show pemirsa sudah memiliki kategori-kategori baik dan buruk, salah dan benar, dan sebagainya. Reality show hanyalah ulangan dari fenomena yang terjadi di sekeliling pemirsa dalam kehidupan sehari-hari; namun realitas yang diangkat dalam reality show bukanlah realitas yang sebenarnya melainkan realitas yang berpihak. Dan frekwensi penayangan yang tinggi dan berulang-ulang dapat membentuk kesepakatan tertentu di kalangan pemirsa.
Konsep umum yang selalu ada dalam sebuah hiburan adalah, ada pihak-pihak menderita yang pada akhirnya menang, harus ada pihak-pihak yang diselamatkam, harus ada pihak-pihak yang dikalahkan. Konsep seperti ini menyederhanakan realitas, menjadikan hubungan antar-individu dalam tayangan reality show menjadi hubungan subjek-objek. Subjek inilah yang digambarkan kehidupannya secara lengkap, yang pa akhirnya nanti akan dimenangkan. Dan dimenangkan bukan berarti mendapatkan segala yang diinginkan, tapi juga simpati dari pemirsa.
Dengan mengkategorikan hubungan antar-individu ke dalam subjek-objek maka realitas yang dominan adalah realitas subjek. Realitas subjek digambarkan dengan detil dan dioposisikan dengan realitas objek yang kurang dominan. Objek tidak diberi kesempatan untuk menggambarkan kehidupannya. Hanya segi yang berkaitan dengan subjek saja yang digambarkan, selebihnya objek hanyalah sosok yang gelap, yang tidak diketahui kehidupannya, yang mana pada akhirnya dikalahkan oleh subjek. Sebab keberadaan objek hanya dimungkinkan dalam oposisinya dengan subjek. Sedang subjek dapat tetap ada tanpa kehadiran objek.
Contoh yang paling mudah adalah 'peminta-minta'. Subjek, peminta-minta, diidentifikasi dengan lengkap. Sedangkan objek yang dimintai sama sekali tidak diidentifikasi dan hanya ditampilkan dalam hubungannya dengan subjek. Yang tidak menguntungkan lagi, objek didatangi setelah subjek berlalu dan ditanyai apa alasannya tidak mau membantu subjek yang minta tolong padanya tadi.
Realitas apakah yang ditampilkan di sini? Realitas yang berpihak. Realitas yang memenangkan pihak tertentu dan mengalahkan pihak lain dengan strategi menghilangkan identifikasi pada pihak lain. Jika reality show bertujuan mengangkat realitas sebagaimana adanya, mengapa ada pihak-pihak yang 'dikalahkan'? Mengapa ada pihak-pihak yang tidak diidentifikasi secara utuh? Seorang pedagang bakso yang di rumah istri dan anaknya menahan lapar dipaksa membantu seorang bocah dengan membeli barang yang ditawarkan lebih dari harga biasanya; salahkah jika penjual bakso itu, yang mungkin saja laba yang didapat hari ini tidak cukup untuk menafkahi anak dan istrinya, tidak membantu gadis itu? Tidak! Siapapun tidak dapat disalahkan begitu saja jika tidak mau membantu gadis itu; mungkin justru penjual bakso itulah yang sebenarnya harus ditolong.
Tapi justru penilaian yang menyatakan bahwa penjual bakso itu salah inilah yang sepertinya hendak ditekankan. Penilaian seperti ini sangat mungkin ada di benak pemirsa ketika melihat gadis kecil itu berlalu tanpa mendapat pertolongan. Di sini persoalan yang ada bukan hanya hubungan subjek-objek saja, konsep reward and punishment merupakan bentuk penilaian yang hendak ditekankan pada pemirsa. Sebab ketika pada akhirnya ada objek yang bersedia membantu gadis itu, maka reward akan diberikan pada objek tersebut.
Mungkin pemirsa diarahkan untuk 'menghukum' objek yang tidak mau membantu gadis itu. Mungkin pemirsa diarahkan untuk bersikap sama jika dalam kehidupan sehari-hari ditemui fenomena serupa itu, di mana tiba-tiba muncul seseorang yang meminta bantuannya. Dalam kerangka pemikiran marxisme kesimpulannya bisa sangat berbeda.
Begitu juga dengan tayangan reality show yang lain. Individu dimasuki kehidupan pribadinya dan dijadikan objek yang dioposisikan dengan subjek. Dan subjeklah yang pada akhirnya harus menang. Dalam konsep fiksi, subjek dijadikan sebagai tokoh protagonis di mana simpati pemirsa diarahkan padanya sedangkan objek diposisikan sebagai tokoh antagonis, sebagai tokoh yang di akhir cerita harus menderita 'kekalahan'.
Dalam memilih acara hiburan untuk ditonton pemirsa harus lebih kritis. Kekritisan ini dapat melepaskan pemirsa dari konsensus tertentu yang (sadar atau tidak sadar) hendak dibentuk melalui tayangan-tayangan tertentu. Dengan begitu pemirsa dapat lebih arif dalam menilai fenomena yang disuguhkan padanya.
Surabaya, 22 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar