Sabtu, 20 November 2010

Catatan dari Bawah Tanah: Proses Kemenjadian Diri

Fyodor Dostoyevsky (1821-1881) merupakan seorang sastrawan eksistensial, terutama dalam novelnya Catatan dari Bawah Tanah. Iwan Simatupang dalam sebuah essainya menyebut tokoh dalam novel ini sebagai Manusia Souterrain. Tampaknya Iwan tertarik dengan sisi gelap tokoh aku dalam novel ini. Novelnya yang berjudul Kering diwarnai nuansa eksistensialisme Dostoyevsky.
Bagi pembaca Indonesia tampaknya novel-novel Dostoyevsky kurang populer dibandingkan karya-karya sastrawan Rusia lain seperti Tolstoy atau Chekov. Meski demikian karya-karya Dostoyevsky turut berpengaruh dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia, terutama pada novel-novel Iwan Simatupang. Sartre pun mengadopsi pemikiran Dostoyevsky dalam filsafatnya.
Kelebihan novel Catatan dari Bawah Tanah ini terletak pada analisis yang tajam terhadap kesadaran eksistensi manusia. Sebuah profil psikologis lengkap tentang seseorang yang hidup menyendiri di kota St. Petersburg pada suatu masa tertentu (abad 19) dapat ditemukan dalam novel ini. Pada awal sekali tokoh aku dalam novel ini sudah mengungkapkan jati dirinya dengan menulis, “Aku orang sakit..Aku seorang pendendam. Aku orang yang tidak menyenangkan.” Lebih jauh, ke-aku-an yang diungkapkan tokoh tersebut ternyata lebih dari sekedar luapan keputusasaan akibat tekanan dari kehidupan terpisah yang dipilihnya.
Novel pendek yang ditulis dalam bentuk catatan ini cukup menarik; ditulis oleh seorang tokoh berusia 40 tahun di mana di dalamnya berisi pandangan beserta pengalaman-pengalaman pahit di masa lalu, dan pikiran dan perasaan yang mungkin ada bersama pengalaman itu. Secara umum, keseluruhan isi novel ini bergerak menuju satu muara: mengantarkan pembaca pada pembentukan argumen yang dikemukakan tokoh aku di awal catatannya. Pemaparan watak, karakter, pandangan, perilaku, dan cara-cara tokoh berhadapan dengan realitas dimaksudkan untuk sampai pada argumen tersebut.
Secara objektif tokoh aku dalam novel ini tergambar negatif di depan pembacanya. Sebab yang hendak diungkapkan bukanlah sisi positif dirinya melainkan sisi negatif dirinya. Makna eksistensi individu ditemukan dalam hubungannya dengan orang lain, tapi siapa yang mau berkawan dengan seseorang yang penuh dengan prasangka buruk pada orang lain? Tapi justru itulah yang hendak disampaikan oleh Dostoyevsky. Jika Kierkegaard mengatakan tidak memahami kisah Abraham untuk mengungkapkan ironisme pemahamannya, ironisme tokoh Dostoyevsky terletak pada pengungkapan sisi negatif dirinya. Artinya, dalam berhubungan dengan orang lain individu harus diterima lengkap bersama sisi-sisi negatif dalam dirinya. Tanpa menerima sisi negatif itu hubungan antar-individu akan menjadi hambah, penuh kepura-puraan, dan tak bermakna; jelas bukan hubungan seperti ini yang dikehendaki Dostoyevsky.
Hubungan antar tokoh dalam novel ini merupakan usaha untuk mengungkapkan sisi negatif tersebut. Tokoh aku dalam novel ini memliki kecendrungan untuk menelanjangi orang lain. Penelanjangan tersebut dimaksudkan supaya orang lain juga memahami eksistensi diri yang lemah. Dengan menyadari kelemahan tersebut hubungan yang lebih bermakna baru mungkin tercapai. Individu di hadapan individu lain tidak harus membanggakan kelebihannya; sebab semua kelebihan itu tidak ada artinya ketika hanya ada 'aku' dan 'diriku sendiri'. Membanggakan diri pada diri sendiri dan orang lain hanyalah perbuatan sia-sia, palsu, dan tak bermolah–celakanya, justru inilah yang terjadi di sekeliling tokoh aku. “Hanya keledai dan bagal yang bersifat perwira, itu pun sampai mereka didesak ke dinding,” tulis tokoh aku dalam catatannya.
Tapi rupa-rupanya tokoh-tokoh yang dioposisikan dengan tokoh aku tidak mau(tidak dapat) memahami eksistensi diri yang lemah; mulai dari kerani yang tidak menyadari bahwa dirinya menjijikkan untuk dipandang, letnan berbadan tegap, dan Zherkov. Hanya pada tokoh Lizalah eksistensi diri yang lemah diakui–ada yang hendak disampaikan Dostoyevsky melalui tokoh Liza ini.
Hbungan yang alot antar tokoh dalam novel ini dapat dilihat dari konsep Sartre yang menyatakan bahwa neraka ialah sesama kita. Sebab hubungan antar-subjek berubah menjadi hubungan subjek-objek. Tokoh aku dalam novel ini tidak bersedia menerima dirinya dijadikan sebagai objek oleh individu lain. Dia tidak ingin keberadaannya dijadikan sebagai objek yang mendukung subjek tertentu, dia ingin berperan sebagai subjek juga. Hal ini nampak pada sikapnya yang lebih memilih diam daripada turut dalam pembicaraan antara atasannya dengan orang lain yang membicarakan kewajiban berlebih, usahanya berad bahu dengan letnannya, serangannya pada Zherkov, dan usahanya untuk menaklukan 'Liza yang malang'.
Sayangnya dari semua usaha mensejajarkan diri itu hanya satu yang berhasil, yaitu pada Liza seorang. Dengan letnannya tokoh aku hanya memperoleh kepuasan palsu, pada atasannya dia tidak memiliki kuasa untuk mengubah topik pembicaraan, dan pada Zherkov dia ditinggalkan seorang diri dalam keadaan setengah mabuk. Maka tercptalah neraka dalam hubungan dengan 'dunia luar'. Sebab dunia luar tidak bersedia mengakui esksistensinya sebagai subjek. Dunia luar mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya. Dia tidak sepakat bahwa penampilan seseorang harus seperti ini atau itu, dia tidak sepakat bahwa sudah menjadi nasib bagi seorang bawahan untuk selalu menjilat atasannya, dia tidak sepakat bahwa keberhasilan seseorang dinilai dari pangkat yang didapat, dia tidak sepakat bahwa orang-orang seperti Zherkovlah orang yang patut dipuji dan diikuti. Dalam kekalahannya tokoh aku menulis, “Jadi begini rupanya, akhirnya terjadi juga–hubungan dengan hidup sesungguhnya.”
Kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya inilah yang disebutnya sebagai hukum alam, hukum yang melukainya dengan dalam. Pada dasarnya kesepakatan-bersama itu baik karena mengarahkan orang-orang pada pandangan positif, tapi bukan berarti dia tidak dapat mencibir dan menjulurkan lidahnya pada kesepakatan-bersama itu. Dia merasa dirinya bukan tuts piano yang begitu ditekan mengeluarkan nada tertentu. Artinya, jika suatu kekuatan asing mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama itu, dia memiliki kebebasan untuk tidak mengarah ke sana. Sebab eksistensi dirinya memang tidak terarah ke sana. Dia melihat orang-orang di sekelilingnya menjalai hidup yang tidak otentik dan merasa nyaman di dalamnya, karena itu dia memilih memisahkan diri.
Secara psikologis dapat dibantah bahwa tokoh aku membenci kesepakatan bersama karena dia tidak berada pada posisi di mana ide-idenya diikuti dijadikan sebagai kesepakatan-bersama. Sekiranya berada pada posisi yang diikuti tentu dia akan mencemooh habis-habisan orang-orang yang menentangnya. Tapi justru di sinilah eksistensialisme dalam novel ini bergerak. Dalam konsep Kierkegaard dikatakan bahwa putus asa adalah kebalikan dari mau menjadi diri sendiri sebagaimana adanya. Tokoh aku berusaha keras menjadikan dirinya sebagai pihak yang diikuti dan dibanggakan orang lain. Tapi tidak dapat tidak dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya lemah dan terasing. Ide-idenya tidak akan diikuti karena hanya akan mengantarkan orang lain pada sisi gelap masing-masing–tokoh Simonov meninggalkannya setelah berhasil ditaklukkan.
Keputusasaan ini mengantarkan tokoh aku ditepi jurang hidupnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menahannya untuk tidak jatuh kecuali dirinya sendiri. Dan pada tahap-tahap tertentu dia tidak lagi takut pada 'kemungkinan' kejatuhan dirinya; sebaliknya, malah menemukan kenikmatan di dalam pesaran kehinaan itu.
Ditinjau dari konsep Kierkegaard, keputusasaan tokoh aku dalam novel ini merupakan keputusasaan yang disadari dan negatif sifatnya. Dia sadar bahwa dia berputusasa, dan ingin mengantarkan orang lain pada keputusasaannya masing-masing, tapi tidak menyadari bahwa orang-orang lain itu pada dasarnya pernah berada dalam putus asa juga. Dia tidak habis pikir, bagaimana orang lain bisa tidak menyadarinya. Karena itu dia menganggap kesadaran yang dimilikinyalah kesadaran yang paling tinggi dan, dengan gaya ironis, menyatakan bahwa seorang lelaki cerdas, sebagai akibat kesadarannya yang tajam, tidak mungkin bisa menjadi apa-apa.
Sikap tokoh aku dalam menghadapi keputusasaannya itu bersifat menentang. Kita andaikan bahwa penulis catatan itu adalah seorang lelaki berusia 40 tahun yang sebagian profilnya sudah kita ketahui; lelaki ini, daripada menerima dengan pasrah keadaan dirinya yang tersakiti, memilih menentang tingkah nasib padanya. Penderitaannya dia terima dengan bersikap melawan. “Setiap saat aku sadar akan unsur yang banyak, banyak sekali, yang bertentangan dengan hal itu,” tulisnya. Lebih jauh lagi dia menulis, “Aku tahu mereka selama hidupku berkumpul dalam diriku dan mencari jalan untuk keluar, tapi aku tidak akan membiarkan mereka keluar, dengan sengaja.”
Dengan ide seperti itulah tokoh aku ingin dipuji dan diikuti. Seperti Kierkegaard dan Sokrates, tokoh aku dalam novel ini menyampaikan pengertian tentang eksistensi manusia dengan gaya yang ironis. Tapi usahanya itu tidak dihargai dan malah berakibat pengucilan padanya, karena itu dia merasa putus asa. Sebab dia tidak dapat menjadi seperti yang diinginkannya sendiri. Pada akhirnya, setelah terdorong sedemikian rupa hingga ke tepi jurang kehidupannya, dia melakukan lompatan eksistensial dengan menuliskan dalam catatannya, “Aku orang sakit...”
Kesimpulannya, novel Catatan dari Bawah Tanah ini merupakan perjalanan tokoh aku dalam menjadi diri sendiri. Kemenjadian ini dilewati melalui proses hubungan dengan individu lain. Namun proses menjadi diri sendiri ini belum usai selama tokoh aku tersebut hidup. Sebab pengalaman tokoh aku belum usai, pengalaman itu tak terbatas dan tak selesai; menulis catatan merupakan salah satu cara melestarikan hubungan dengan diri sendiri. Sartre mengatakan, aku bukan diriku, dan aku akan menjadi diriku. Dalam catatannya tokoh aku menulis, “Aku akan lebih bisa mengkritik diriku sendiri, dan memperbaiki gayaku. Di samping itu, siapa tahu dengan menulis aku dapat memperoleh rasa lega.” dengan membuat catatan tersebut tokoh aku berusaha menuju ke arah 'akan menjadi diri' dengan jalan mengabstraksi pengalaman-pengalamannya yang sudah dilaluinya untuk menapak pengalaman-pengalaman yang akan didapatnya.
Surabaya, 10 Juli 2009

Tidak ada komentar: