Minggu, 15 Februari 2009

Memahami Dunia Bayi

Bagaimana anak-anak memahami dunia di sekelilingnya? Pertanyaan ini begitu menarik untuk di jawab. Seorang bayi yang baru lahir layaknya kertas putih polos yang belum berisi apa pun. Mereka memandang objek-objek di sekelilingnya dalam keadaan kabur dan asing; belum ada nama untuk benda-benda di sekeliling mereka. Lambat laun, dunia yang asing tersebut menjadi semakin akrab, dan, pada akhirnya, mau tidak mau akan mereka masuki. Untuk itu secara naluriah mereka harus mempersiapkan diri untuk memasuki dunia yang kabur dan asing itu.
Hal pertama kali yang dilihat oleh bayi, dan yang akan ditemuinya sepanjang hidupnya, adalah adanya objek-objek di sekeliling mereka. Sejak pertama kali muncul ke dunia mereka telah mengenal adanya sesuatu yang terpisah dari dirinya, berada di luar dirinya dan bukan menjadi bagian dari dirinya. Bagaimana bayi memahami objek-objek di sekelilingnya?
Sejak awal sekali seorang anak tahu bahwa objek dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu yang bernyawa dan tidak bernyawa. Adanya pembedaan antara benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa pertama-tama bukan karena objek-objek tersebut dapat bergerak sendiri atau hanya akan bergerak apabila didorong oleh kekuatan lain; secara naluriah bayi memahami bahwa sebuah objek bernyawa didasari oleh insting dasar mereka sendiri. Akan tetapi pemahaman ini masih bersifat instingtif pada awalnya. Pemahaman yang kabur ini lambat laun akan menjadi semakin jelas seiring dengan makin kompleksnya pengalaman yang dialami oleh bayi. Pada tahap ini, seorang bayi dapat dikatakan telah memiliki kesadaran akan dunia luar, dunia yang lain dari mereka. Sekalipun dunia ini masih kabur gambarannya, di mana mereka melihat banyaknya benang-benang yang masih kusut, seiring dengan berjalannya waktu dan kompleksnya pengalaman, benang-benang tersebut akan terjalin menjadi satu untaian yang mengantarkan seorang bayi menuju pemahaman yang utuh terhadap dunia.
Dari sini dapat dilihat bahwa pengalaman merupakan unsur penting bagi bayi untuk memahami dunia sekelilingnya. Dengan kata lain, perkembangan bayi tidak hanya didasari dari faktor internal saja seperti nutrisi yang cukup, gizi yang lengkap, vitamin yang tinggi saja. Secara fisik mereka memang memerlukan semua itu untuk mengembangkan diri mereka. Akan tetapi mental mereka juga harus berkembang. Mereka juga harus melakukan input untuk diri mereka sendiri supaya mental mereka berkembang. Di sini lingkungan sangat berperan dalam menumbuh-kembangkan mental bayi. Orang tua banyak berperan penting di sini. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana orang tua mencoba memberikan berbagai macam mainan pada anak-anaknya. Adanya mainan ini dimaksudkan untuk memberikan pengalaman lain kepada bayi. Pengalaman tersebut dapat berupa pemberian suatu bentuk-bentuk baru pada bayi, seperti memberikan mainan dari balok-balok kayu, atau memberi suatu bentuk-bentuk gerakan yang mungkin dilakukan oleh sebuah objek seperti mainan yang bisa diputar.
Adanya hal-hal baru seperti ini memberikan pada bayi sebuah keterbukaan terhadap dunia. Mereka lambat laun akan menyadari bahwa hal-hal yang belum mereka ketahui mungkin saja terjadi. Sebagai contoh kita kembali pada mainan putar; bayi pada mulanya hanya mengetahui bentuk dari mainan tersebut, akan tetapi, dengan didorong oleh suatu tindakan tertentu ternyata mainan tersebut bisa bergerak sendiri. Perlahan tapi pasti mereka bergerak menuju tahap pemahaman yang lebih tinggi.
Tahap selanjutnya setelah bayi mempelajari objek-objek di sekelilingnya adalah memahami adanya peran-peran sosial di sekelilingnya. Setelah melewati tahap materi kini mereka mencapai tahap fisis di mana hubungan antara suatu objek-objek abstrak ingin dipahami. Pada tahap ini bayi telah mencapai usia sekitar 18 bulan. Penggunaan simbol sangat kentara pada tahap ini. Mereka telah mengerti apa arti dari ekspresi tertawa, menangis, dan sebagainya. Mereka telah memasuki tahap yang semakin kompleks.
bersambung................

Jumat, 06 Februari 2009

Letak Intelegensia dalam Organisasi Mental

Setiap respon, apakah itu berupa tindakan yang bersifat eksternal ataupun tindakan yang bersifat internal seperti berpikir, mengambil bentuk dari adaptasi atau, yang lebih baik lagi, adaptasi ulang. Tindakan individual dilakukan hanya jika dirasa diperlukan, seperti jika keseimbangan antara lingkungan dan organisme suatu ketika mengalami kekacauan, dan tindakan yang akan diambil tersebut cenderung untuk membentuk lagi keseimbangan antara lingkungan dan organisme, untuk adaptasi ulang organisme (Clarapede). Respon tersebut, dengan demikian merupakan kasus kusus dari interaksi antara dunia eksternal dan subjek, tetapi berbeda dengan interaksi psikologis, yang merupakan materi alami dan melibatkan perubahan internal yang diwujudkan di dalam tubuh, respon yang dikaji oleh psikologi adalah pencapaian jarak terbesar dari fungsi alamiah dan yang semakin membesar di dalam ruang (persepsi) dan di dalam waktu (memori, dan sebagainya) selain mengikuti bidang yang makin lama makin kompleks (perubahan, sirkulasi, dan sebagainya). Perilaku, dengan demikian disusun dalam terminologi interaksi fungsional, yang membutuhkan esensi dan ketelitian dua aspek yang saling bergantung: aspek afektif dan kognitif.
Telah begitu banyak diskusi tentang hubungan antara afeksi dan kognisi. Sesuai dengan P. Janet, perbedaan harus tergambar di antara "tindakan primer" atau pada hubungan antara subjek dan objek (intelegensia, dan sebagainya) dan "tindakan sekunder" atau reaksi subjek atas tindakannya sendiri, yang mana membentuk emosi dasar yang terdiri dari regulasi atas tindakan primer dan memastikan pelepasan energi yang tersedia di dalam diri organisme. Tapi di samping pengaturan/regulasi seperti ini, yang menentukan energitika atau pengelolaan batin dari perilaku, kita harus, seolah-olah, memasukkan penghitungan yang mengarah pada sebuah akhir atau pada sebuah nilai tertentu, dan seperti ciri-ciri nilai interaksi yang energik dan ekonomis dengan lingkungan eksternal. Menurut Clarapede, kesadaran menunjuk tujuan dari perilaku, sementara itu intelegensia hanya menyediakan sarana (tekniknya). Tapi di sana terdapat kesadaran dari sebuah akhir sebagai suatu tujuan, dan kesinambungan ini mengubah tujuan dari perilaku. Sepanjang kesadaran mengarahkan perilaku dengan menunjukkan nilai dari sebuah tujuan, kita harus membatasi diri kita untuk berkata bahwa hal itu menyediakan energi yang diperlukan untuk sebuah tindakan, sedangkan pengetahuan terletak pada strukturnya. Hal ini menyebabkan munculnya solusi baru yang diusulkan yang disebut denga Psikologi Gestalt: perilaku melibatkan "semua bidang" yang menyatukan subjek dan objek, dan dinamika dari bidang ini membangun kesadaran (Lewin), sedangkan strukturnya bergantung pada persepsi, fungsi-efektor, dan intelegensia. Kita akan mengadopsi formula yang sama, dengan syarat bahwa kesadaran dan bentuk kognitif tidak tergantung semata-mata pada keberadaan "bidang", tapi juga pada seluruh sejarah tindakan subjek sebelumnya. Kita akan mengatakannya dengan sederhana kemudian bahwa setiap tindakan melibatkan aspek energi dan afektif dan struktur atau aspek kognitif, yang mana pada kenyataannya, merupakan perpaduan dari titik pandang berbeda yang telah disebutkan.
Pada dasarnya, semua kesadaran terdiri dari dua hal, regulasi dari energi internal atau terdiri dari faktor pengendalian pertukaran energi dengan lingkungan eksternal. Dengan sendirinya hal ini akan dibayangkan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan afeksi, dan oleh karena itu energetik, operasional, sikap pada nilai yang lebih tinggi, dan menjadikannya kecakapan dari keterbalikan dan percakapan (kesadaran moral, dan sebagainya) sama seperti yang juga dilakukan sistem operasi logika untuk sebuah konsep.
Tapi jika semua perilaku, tanpa pengecualian, sampai pada yang berimplikasi terhadap kecerdasaan atau pada pengelolaan, pembentukan aspek afektif, interaksi dengan lingkungan di mana ajakan tersebut juga memerlukan sebuah bentuk atau struktur untuk menentukan lingkaran variasi kemungkinan antara subjek dan objek. Persepsi, pengetahuan senso-motorik (kebiasaan, dan sebagainya), pada pemahaman tindakan, hukuman, dan sebagainya, semua jumlah ini dengan suatu cara atau cara yang lain, membangun hubungan antara organisme dan lingkungan. Hal ini berada dalam apa yang mereka nyatakan sebagai afinitas tertentu di antara mereka yang membedakannya dari gejala afektif. Kita akan mengacu pada mereka, seperti fungsi kognitif dalam arti luas (untuk mengkategorikan adaptasi senso-motorik).
Kehidupan afektif dan kognitif, untuk selanjutnya, tidak dapat dipisahkan meskipun keduanya berbeda. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena interaksi dengan lingkungan melibatkan penataan dan penilaian, tapi keduanya tidak ada yang kurang terpisah, semenjak dua aspek dari perilaku ini tidak bisa direduksi lagi satu sama lain. Sehingga kita tidak dapat beralasan, sekalipun dalam matematika murni, tanpa mengalami kesadaran tertentu, dan sebaliknya tidak ada afeksi yang eksis tanpa adanya pemahaman sedikit pun atau tanpa adanya sedikit pun pembedaan. Pada tindakanlah intelegensia tercakup, selanjutnya pada regulasi internal dari energi (ketertarikan, tenaga, kenyamanan, dan sebagainya) dan regulasi eksernal (nilai-nilai yang dicari pemecahannya dan objek-objek bersangkutan yang dicari), tapi dua bentuk pengendalian ini terletak pada afeksi alamiah dan tinggal perbandingan dengan seluruh regulasi dari tipe ini. Dengan cara yang sama, elemen perseptual atau intelektual yang mana kita temukan dalam semua manifestasi emosi tergolong kesadaran, dengan jalan yang sama seperti reaksi perseptual atau intelektual yang lain. Apakah arti umum dari yang disebut dengan "kesadaran" dan "intelegensia" dalam hubungan keduanya sebagai dua "bakat" yang bertentangan, merupakan perilaku sederhana yang berhubungan dengan seseorang dan tindakan-tindakan yang mempengaruhi ide-ide atau hal-hal; tapi masing-masing dari bentuk perilaku ini, aspek afektif dan kognitif yang sama dari tindakan menjadi jelas, aspek-aspek yang mana pada kenyataannya selalu berhubungan dan tidak ada jalan menampilkan bakat-bakat secara terpisah.
Lagipula, intelegensia itu sendiri tidak terdiri dari sebuah isolasi dan perbedaan kelas proses kognitif yang tajam. Ini tidak sepatutnya dikatakan, satu bentuk di antara yang lain; ini merupakan bentuk keseimbangan yang mana mengarah pada struktur yang menghasilkan persepsi, kecendrungan kebiasaan dan mekanisme dasar senso-motorik; maka intelegensia hanya merupakan bentuk keseimbangan yang mana mengarah pada kecendrungan ini. Hal ini harus dipahami bahwa intelegensia bukanlah bakat, penolakan ini mencakup kesinambungan fungsi radikal antara bentuk tertinggi pemikiran dan kelompok besar tipe terendah dari adaptasi kognitif dan motorik; maka intelegensia hanya merupakan bentuk keseimbangan yang mengarah pada kecendrungan ini. Hal ini tidak berarti, tentu saja, bahwa keputusan terdiri dari ko-ordinasi dari struktur perseptual, atau bahwa 'merasa' berarti adalah penarikan kesimpulan secara tak sadar (meskipun kedua teori ini telah dipertahankan), untuk keseimbangan fungsional pada tidak adanya jalan mencegah munculnya variasi atau bahkan heterogienitas di antara struktur. Setiap struktur yang menjadi pemikiran merupakan bentuk khusus dari keseimbangan, kurang lebih stabil dalam bidang yang terbatas dan kehilangan kestabilan ketika mencapai batas sebuah bidang. Tapi struktur ini, yang membentuk tingkat yang berbeda, akan dianggap menggantikan salah satu pendekatan lain dalam hukum perkembangan, sedemikian rupa sehingga masing-masing merealisir keseimbangan yang lebih inklusif dan stabil untuk sebuah proses muncul dari keadaan sebelumnya. Intelegensia dengan demikian hanyalah terminologi umum untuk mengindikasikan bentuk superior dari organisasi atau keseimbangan dari penstrukturan kognitif.
Pandangan ini berarti, mulai dari awal, merupakan desakan pusat peran dari intelegensia dalam kehidupan mental dan dalam kehidupan organisme itu sendiri; intelegensia, struktur keseimbangan dari perilaku yang paling plastis dan pada saat yang sama merupakan struktur keseimbangan yang paling tahan lama, merupakan dasar sistem operasi kehidupan dan tindakan. Ini merupakan bentuk perkembangan tertinggi dari adaptasi mental, demikian dikatakan, instrumen yang harus ada pada interaksi antara subjek dan alam semesta ketika lingkup dari interaksi ini menjadi berada di seberang kelangsungan dan kontak sesaat untuk mencapai jangkauan yang luas dan stabilnya hubungan. Akan tetapi, di sisi lain, penggunaan terminologi ini merintangi kita untuk menentukan di manakah intelegensia dimulai; ini merupakan tujuan akhir, dan asalnya secara umum tidak dapat dibedakan dari adaptasi senso-motorik atau bahkan dari adaptasi biologis itu sendiri.

Sumber:
Piaget, Jean. 1960. Psychology of Intelligence. New Jersey: Littlefield, Adams & Co.

Rabu, 04 Februari 2009

Kepada Deew

Ada pasti suatu ketika
suaramu 'kan begitu mengerikan untuk kudengar
dan gelombang yang merambati telingaku
menggetarkan jantung, untuk saat berikutnya
moral, dan ketabahanku
pada akhirnya.

Jantungku remuk hatiku pecah
tahu ujud rupa suara itu.
Hidupku selanjutnya, barangkali,
adalah pilihan:
keinginan bertemu lagi, dan
ketakutan menatap matanya.

Mengapa kita berbicara seperti ini;
aku di sini, berteriak,
di seberang sana kau sumbat telingamu;
tiadakah titian yang meniadakan
jurang antara kita;
ingin sekali aku meluncur ke dasarnya
kalau itu harga untuk kata, "mas..."
yang kau lesakkan, untuk dirimu sendiri selanjutnya,
sesudah aku sampai di dasar
dalam keadaan berkeping-keping: "...jangan..."
dan meneruskannya dalam batin, "...loncat!"

Tidak ada kesangsian padaku
akan tunas yang baru tumbuh itu.
Meski usianya berbilang hari
dia tumbuh dengan semua energi
yang dimilikinya untuk hidup;
tidak ada kehidupan lagi di sana
seperti ladang tandus, mengering,
seolah-olah rahmat tercerabut
dari tanah itu.
O, tunah tunas yang telah mati....

Kepada perempuan yang pernah
menjadi pupuk tunas itu,
aku ingin engkau tak sendirian;
akan aku temani tidurmu,
langkah kakimu, suara hatimu,
seluruh hidupmu
dengan putihnya harapan
doa, dan kutukan,
dari gelapnya kebencian yang dalam.
Aum, santih santih santih!