Ada pasti suatu ketika
suaramu 'kan begitu mengerikan untuk kudengar
dan gelombang yang merambati telingaku
menggetarkan jantung, untuk saat berikutnya
moral, dan ketabahanku
pada akhirnya.
Jantungku remuk hatiku pecah
tahu ujud rupa suara itu.
Hidupku selanjutnya, barangkali,
adalah pilihan:
keinginan bertemu lagi, dan
ketakutan menatap matanya.
Mengapa kita berbicara seperti ini;
aku di sini, berteriak,
di seberang sana kau sumbat telingamu;
tiadakah titian yang meniadakan
jurang antara kita;
ingin sekali aku meluncur ke dasarnya
kalau itu harga untuk kata, "mas..."
yang kau lesakkan, untuk dirimu sendiri selanjutnya,
sesudah aku sampai di dasar
dalam keadaan berkeping-keping: "...jangan..."
dan meneruskannya dalam batin, "...loncat!"
Tidak ada kesangsian padaku
akan tunas yang baru tumbuh itu.
Meski usianya berbilang hari
dia tumbuh dengan semua energi
yang dimilikinya untuk hidup;
tidak ada kehidupan lagi di sana
seperti ladang tandus, mengering,
seolah-olah rahmat tercerabut
dari tanah itu.
O, tunah tunas yang telah mati....
Kepada perempuan yang pernah
menjadi pupuk tunas itu,
aku ingin engkau tak sendirian;
akan aku temani tidurmu,
langkah kakimu, suara hatimu,
seluruh hidupmu
dengan putihnya harapan
doa, dan kutukan,
dari gelapnya kebencian yang dalam.
Aum, santih santih santih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar