Senin, 20 Desember 2010

Asal Mula Bahasa

Sebagai alat interaksi yang bersifat terbuka dan produktif, bahasa telah berkembang sedemikian rupa. Dulu orang-orang menggunakan bentuk-bentuk bahasa tradisional seperti dalam menulis surat. Namun setelah diciptakannya teknologi telegram, bentuk-bentuk bahasa tradisional tersebut mengalami perubahan. Tuntutan untuk meminimalkan jumlah karakter yang ditulis menyebabkan kata-kata mulai dirampingkan dan bentuk-bentuk bahasa tradisional tidak lagi digunakan. Saat ini, dengan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin pesat, bentuk-bentuk bahasa mengalami perampingan secara massal. Hal serupa ini dapat ditemui dalam pesan-pesan singkat di telepon selular (Short Message Service).
Akibat kemajuan teknologi komunikasi perkembangan bahasa tidak hanya pada terbatas pada perampingan bentuk saja. Mudahnya berkomunikasi dengan masyarakat tutur lain (speech community) dapat menyebabkan makin bertambahnya perbendaharaan kosakata suatu masyarakat tutur tertentu lewat proses penyerapan bahasa. Kata-kata seperti outbond, tennis indoor, etc, sangat sering dijumpai pada masyarakat tutur bahasa Indonesia.
Perkembangan bahasa ini merupakan hal yang alamiah. Sesuai dengan sifatnya, bahasa memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan keinginan dan tuntutan masyarakat penggunanya. Tapi yang tidak banyak diketahui adalah, bagaimanakah asal mula bahasa sehingga berkembang sedemikian rupa seperti sekarang ini?
Belum ada teori yang menyatakan dengan pasti bagaimana bahasa bermula. Di dunia sekarang ini tidak ada masyarakat yang belum berbahasa sehingga dapat dipelajari bagaimana sebuah bahasa bermula. Suku-suku terasing yang diketahui sudah memiliki sistem bahasa yang kompleks. Tidak ada ilmuwan yang menemukan suatu masyarakat tertentu dalam keadaa tanpa bahasa. Lalu, jika tidak ada pengalaman empiris yang dapat menjadi fakta untuk menerangkan asal mula bahasa, bagaimanakah asal mula bahasa dapat diterangkan?
Seorang filsuf bahasa dari Inggris, James Haris, menjawab. Kemampuan manusia dalam menciptakan makna dan kata merupakan pemberian Tuhan. Jawaban yang sederhana. Dan merupakan kebenaran mutlak bagi yang beriman. Tapi, bagaimanakah cara Tuhan memberikan kemampuan itu kepada manusia, menjadi teka-teki yang sepertinya sulit untuk dijawab. Lalu, jika benar Tuhan menganugrahkan kemampuan itu kepada manusia, kapan anugrah itu diberikan? Apakah pada masa Kala Miosen 15 juta tahun yang lalu ketika keluarga kera besar berevolusi menjadi hominoid? Atau pada masaKala Plestosen Madya 1 juta tahun lalu ketika proto-hominoid pada akhirnya menurunkan empat ras manusia? (Kapakankah kau, hei Adam, memakan buah pengetahuan?)
Dipandang dari segi sejarah, asal mula bahasa berlangsung pada masa pra-sejarah. Mustahil menelusuri apa yang berlangsung di masa itu melalui catatan atau manuskrip yang ditinggalkan oleh masa itu. Apalagi mencari data-data bahasa yang dapat digunakan untuk mengkaji asal mula bahasa. Tulisan-tulisan kuno paling tua yang ditemukan berasal dari kebudayaan-kebudayaan besar kuno seperti Babilonia, Mesir, Cina, India, etc. itu pun paling jauh hanya mencapai 5000 tahun sebelum masehi. Singkatnya, bahasa tercipta pada masa gelap sejarah umat manusia. Merekonstruksi kejadian yang ada di sana berarti menjamah kegelapan di mana eksistensi yang berada di sana tidak terjamah oleh indra dan pengalaman manusia pada masa kini.
Meski demikian, tidak sedikit ilmuwan yang mencoba untuk menjamah kegelapan itu dan memetakannya. Namun karena keterbatasan fakta empiris, para ilmuwan hanya mampu sampai pada tahap hipotesis. Dengan kata lain (jika boleh disebut seperti ini) manusia belum tahu dengan pasti dari mana dia berasal dan bagaimana dia bisa berbahasa.
Ada beberapa teori yang coba menjawab asal mula bahasa. Ada teori onomatopetik yang menyatakan bahwa kata-kata diciptakan dengan meniru bunyi atau gema dari objek. Teori interyeksi menyatakan bahwa bahasa lahir dari ujaran instinktif karena tekanan-tekanan batin, perasaan yang mendalam, dank arena rasa sakit yang mendalam. Masih ada teori nativistik, teori Yo-He-Ho, teori isyarat, teori permainan vocal, teori isyarat oral, teori kontrol sosial, teori kontak, dan teori Hockett-Ascher. Dari semua teori tersebut, teori Hockett-Ascher lebih menyeluruh dan memperhitungkan evolusi yang dialami umat manusia.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Hockett dan Ascher disebutkan bahwa sebelum sampai pada perkembangannya bahasa mengalami sebuah proses yang disebut pra-bahasa. Kera-kera besar yang mendiami bumi berkomunikasi dengan isyarat yang disebut sistem call seperti yang nampak pada system call pada gibbon modern. Sistem komunikasi ini memiliki enam bentuk call: (1) makanan, (2) bahaya, (3) persahabatan, (4) untuk menunjukkan keberadaan, (5) perhatian seksual, dan (6) perlindungan.
Berbeda dengan bahasa modern, system call ini bersifat tertutup. Sebuah call hanya mungkin digunakan jika objek yang dikenai berada di depan mata. Call makanan misalnya, hanya digunakan jika ditemui adanya makanan. Begitu juga dengan call bahaya dan call-call yang lain. Sebuah call tidak dapat digunakan bersamaan. Pada masa itu belum dimungkinkan membuat ungkapan seperti, “Aku punya makanan, maukah kau bersahabat denganku,” seperti yang dilakukan oleh anak-anak untuk merayu temannya.
Ditinjau dari segi ini, sistem call belum memiliki ciri bahasa modern, yaitu pemindahan (replacement). Ciri pemindahan ini mengandung pengertian bahwa kita dapat berbicara dengan bebas mengenai sesuatu hal yang jauh dari pandangan kita, atau sesuatu yang berada di masa lampau, atau sesuatu yang berada di masa datang, bahkan mengenai sesuatu yang tidak ada. “Tapi kau harus duduk denganku besok di sekolahan,” lanjut anak itu berbicara tentang masa depan dengan makanan yang baru akan diberikan setelah sampai di rumah (kedua anak itu masih berbincang-bincang di sekolah).
Dengan sangat lambat system call yang bersifat tertutup perlahan-lahan mulai terbuka. Berlangsungnya proses ini bersamaan dengan perubahan iklim di muka bumi yang menyebabkan hutan-hutan menyempit dan memunculkan tempat-tempat terbuka.
Makin menyusutnya hutan ini menyebabkan makin ketatnya persaingan memperebutkan ruang hidup (lebensraum) bagi proto-hominoid. Yang lemah dan kalah pada akhirnya harus turun dari hutan dan mengembara di sabana-sabana terbuka.
Di sinilah babak baru kehidupan dimulai. Makhluk yang semula menggunakan tangannya untuk bergelantungan pada cabang-cabang pohon dan menggunakan mulutnya untuk membawa sesuatu kini harus menggunakan kedua kakinya untuk berjalan di padang-padang luas. Perlahan-lahan pula kedua tangannya difungsikan untuk membawa sesuatu. Pada masa ini juga proto-hominoid mengembangkan peralatan sederhana baik dari batu maupun dari tulang sisa hewan buruan mereka. Mereka pun juga mulai mengumpulkan makanan (di sini nampak bahwa proto-hominoid mulai mengenal konsep masa depan). Pada akhirnya, terbentuklah kebudayaan manusia.
Terbentuknya kebudayaan ini didukung oleh perkembangan alat berkomunikasi dari sistem call yang bersifat tertutup menjadi bersifat terbuka dan produktif, yang pada akhirnya membentuk pra-bahasa dan bahasa. Sistem call yang semula hanya memiliki enam bentuk call makin lama makin bertambah. Hal ini dikarenakan situasi dan pengalaman baru yang dihadapi. Pada suatu ketika mereka berada dalam situasi ‘ada makanan tapi ada hewan buas yang berarti ada bahaya’ namun mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan situasi tersebut ke anggota kelompok yang lain. Untuk memenuhi tuntutan tersebut diciptakanlah sebuah call baru yang memiliki ciri-ciri call makanan dan bahaya. Misalnya ditentukan bahwa ABCD adalah call makanan dan EFGH adalah call bahaya. Mereka menggabungkan sebagian ciri yang ada pada kedua call tersebut menjadi sebuah call baru seperti ABGH untuk menyebut ada makanan tapi ada bahaya.
Dengan kemampuan penggabungan ini menyebabkan perbendaharaan call yang dimiliki menjadi semakin banyak. Jika disepakati bahwa ABCD adalah makanan dan EFGH adalah bahaya maka dapat diturunkan bentuk seperti ABGH= ada makanan tapi ada bahaya, ABEF= ada makanan dan tidak ada bahaya, CDEF= tidak ada makanan tapi yang ada hanya bahaya, dan CDGH= tidak ada makanan dan tidak ada bahaya. Lalu peralatan-peralatan yang digunakan untuk berburu mulai diberi call (penanda). Begitu juga dengan buah-buah, binatang, maupun objek-objek yang ditemui selama perjalanan. Dan secara perlahan-lahan objek-objek abstrak seperti hari esok, cara berburu binatang, dan lain sebagainya diberi call.
Cara seperti inilah yang menghasilkan banyak perbendaharaan call pada proto-hominoid yang pada akhirnya menjadi sebuah bahasa yang digunakan oleh homo sapiens dan empat ras manusia di bumi. Namun perlu dicatat bahwa terus bertambahnya jumlah perbendaharaan call yang dimiliki sebuah bahasa dapat menyebabkan keruntuhan bahasa itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan itu para pengguna bahasa menciptakan morfem untuk menekan laju pertambahancall.
Contoh pada kata ‘kerja’, ‘mengerjakan’, ‘dikerjakan’, ‘pekerjaan’, ‘pengerjaan’, dan ‘kerjakan’ jika bentuk-bentuk yang berasal dari satu akar kata ini diberi penanda yang berbeda tentu jumlah perbendaharaan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa terlampau besar sehingga dapat meruntuhkan bahasa itu sendiri.
Pada catatan berikutnya akan coba diuraikan secara sederhana bagaimana penyebaran bahasa bangsa-bangsa yang semula bersatu lalu perlahan-lahan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Metode yang digunakan dalam dalam menganalisa penyebaran bahasa adalah metode leksikostatistik.
Surabaya, 15 Desember 2010

Senin, 13 Desember 2010

Hari Raya Kurban, Berkah bagi Masyarakat Pinggiran


Hari raya kurban membawa berkah tersendiri bagi masyarakat pinggiran Surabaya. Sujoto misalnya. Pria 54 tahun yang tinggal di wilayah Surabaya Timur ini mendapat berkah tersendiri dengan datangnya hari raya kurban.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga kebersihan di sebuah pertokoan ini tidak ingin ketinggalan dalam mengais rejeki di hari raya kurban. Sebanyak 17 ekor dari 26 ekor kambing yang dipelihara dengan sistem maron bati di rumahnya di kawasan Medokan Semampir Timur Dam diboyong ke lokasi penjualan di kawasan jalan Kedung Baruk dekat dengan TPS.
Berbekal beberapa helai pakaian, sebuah sarung, lampu senter, dan terpal plastik, dia tinggal di sana untuk menunggui kambing-kambingnya. Mulai tanggal 10 s/d 17 November, dia tinggal di lokasi penjualan yang disewa dari seorang warga Kedung Baruk. Namun dia tidak berjualan sendirian di sana melainkan bersama rekannya Mudjiono (56 tahun) warga Keputih Tegal Timur Baru. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan ini membawa serta 7 ekor kambing. “Sebenarnya 8 ekor yang mau dijual, tapi yang satu terkena penyakit gudik jadi tidak dibawa,” kata Mudjiono.
Meski pengunjung yang datang terbilang tidak ramai, namun satu per satu kambing yang mereka jual laku. Harga kambing yang mereka jual berkisar antara 800 ribu sampai 1,9 juta ribu rupiah. Sampai bakda hari raya (17/11) kambing yang mereka jual hanya tersisa 3 ekor. Sedangkan keuntungan yang didapat berkisar antara 100 ribu sampai 1 juta per ekor.
“Lebih enak dijual sendiri, untungnya bisa lumayan,” jawab Sujoto ketika ditanya kenapa tidak dijual ke tengkulak. Sujoto bercerita, sebelumnya sudah ada tengkulak yang bersedia membeli kambingnya. Namun harganya terlalu rendah, hanya 925 ribu per ekor baik besar mau pun kecil. “Dengan berjualan sendiri seperti ini kami jadi tahu harga pasaran,” tambah Sujoto. Lebih jauh, dia berkeinginan untuk berjualan lagi pada hari raya kurban tahun depan.
Total keuntungan yang didapat Sujoto selama tujuh hari sebesar 3,4 juta. Sedangkan keuntungan yang didapat Mudjiono sebesar 1 juta. Sebagian dari keuntungan yang didapat rencananya akan mereka gunakan untuk membeli kambing lagi. “Tepat hari raya kurban tahun depan, kambing yang dibeli nanti sudah cukup besar untuk dijual,” imbuh Sujoto.
Berkah hari raya kurban tidak hanya dinikmati oleh penjual hewan kurban saja. Cak Kholiq misalnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penarik sampah di wilayah Kedung Baruk dan tinggal di lapak tak jauh dari TPS Kedung Baruk ini turut kebagian rejeki. Dari pembelian kambing milik Sujoto dan Mudjiono, Cak Kholiq mendapat order mengirim kambing-kambing yang terjual. Dalam sekali pengiriman dia bisa mendapat upah antara 10-35 ribu. Tergantung dari jauh-dekatnya kambing yang diantar.
Nampaknya berkah hari raya kurban yang mengalir ke lapak-lapak dan kampung-kampung di pinggiran Surabaya tidak hanya selalu berupa daging. Hari raya kurban rupanya juga bisa menjadi media bagi masyarakat pinggiran untuk mencari rejeki.
Surabaya, 17 November 2010

HUJAN SELAMAM SUNTUK

Kursi, meja, kasur, pakaian, serta berbagai perabot rumah digelar di depan rumah. Sampah berserakan di jalanan. anak-anak nampak bergembira karena sekolah mereka mendadak libur. Pemandangan seperti ini dapat disaksikan di kawasan Simo pada jumat pagi 03/12.
Hujan deras disertai angin yang turun hampir sepanjang malam menyebabkan banjir setinggi 1 meter di kawasan ini. Akibatnya aktivitas warga yang terhenti pada pagi harinya. Banyak warga yang terpaksa tidak bekerja dan kembali sambil menuntun motornya. Sebuah sekolah Taman Kanak-kanak memasang papan pengumuman bertuliskan “hari ini sekolah libur karena banjir.” Di halaman sekolah bangku-bangku dijejer, kemudian buku-buku pelajaran dikeringkan. Beberapa orang tampak sibuk mengepel lantai kelas.
Hujan deras semalam juga melumpuhkan kegiatan di pasar simo. Banyak pedagang yang tidak berjualan. Manhuri, salah seroang pedagang di pasar simo, terpaksa memasukkan barang-barang dagangannya ke dalam rumah lagi. Tempat berjualannya yangberada di pinggir jalan tidak memungkinkannya untuk berjualan ketika hujan deras turun.
Sementara itu warga yang rumahnya kebanjiran terpaksa tidak tidur sepanjang malam. Bayu Kurniawan, salah seorang warga yang tinggal di kawasan Simo Hilir, menceritakan bahwa sepanjang malam dia hanya bisa melihat air masuk membanjiri rumahnya. Selain menunggu hujan reda dan memindahkan barang-barangnya ke atas lemari dia tidak dapat berbuat banyak. Baru setelah hujan reda dan genangan air di luar rumah surut, dia mulai menguras air yang menggenang di dalam rumahnya.
“Daerah ini sudah jadi langganan banjir,” katanya. “Untungnya tanggul sungai dan jembatan sudah ditinggikan, kalau tidak bisa lebih parah,” imbuh Bayu. Seringnya banjir di kawasan ini disebabkan kawasan ini merupakan daerah aliran air. Air dari wilayah Kupang Jaya mengalir ke utara melewati kawasan Simo Hilir.
Di jalan raya Simo Pomahan air menggenang setinggi 30 cm. akibatnya banyak pengendra mengalihkan rutenya lewat jalan simo gunung barat tol. Begitu juga dengan angkutan kota yang melintas di jalan itu. Beberapa sopir lyn I dan BP nampak mengalihkan rutenya untuk menghindari banjir. Sampai pukul 1 siang jalan raya Simo Pomahan masih tergenang banjir.
Surabaya, 03 Desember 2010

Cerita Seorang Kawan

Hari ini sebuah harian di kotaku memberitakan tindak kriminal pencurian. Biasanya aku tidak tertarik pada berita-berita yang disajikan harian itu. Mungkin ketidaktertarikanku didasari pada anggapan bahwa harian lain lebih berkelas untuk dibaca; anggapan yang keliru memang. Tapi begitulah yang terjadi. Misalkan saja harian itu dijajarkan dengan harian lain, tentu aku akan memilih harian lain, kecuali jika memang tidak ada lagi yang bisa dibaca.
Tapi hari ini aku tertarik pada harian itu. Bahkan semalam aku sudah menunggu untuk membaca berita yang mungkin ada di sana. Sebab yang diberitakan di harian itu adalah kawanku, kawan dekatku. Meski sudah menunggu semalaman, aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku atas berita ditangkapnya dia. “Akhirnya,” pikirku.
Sudah menjadi strategi pemasaran yang khas bagi penjual koran keliling untuk mendatangi kampung orang-orang yang diberitakan harian tersebut tinggal. Dan ketika penjual koran keliling itu sampai di depan rumah aku membelinya. Aku ingin mengetahui bagaimana dia diberitakan. Sebab aku sudah mengenal dia jauh sebelum timbul niatan untuk mencuri, bagaimana proses munculnya niatan itu, bagaimana keadaannya sesudah pencurian itu, sampai dia ditangkap dua hari lalu.
Sebagai kawan baik aku sudah berusaha mengingatkannya. Dipandang dari sudut manapun, perbuatan itu salah. Tapi dia bersikeras ingin melakukannya. “Ada yang lebih buruk dibandingkan mencuri,” elaknya. Dan dua hari setelah berbincang-bincang soal ingat-mengingatkan ini dia menemuiku dan mengatakan, dengan nada yang berharap supaya aku membenarkan perbuatannya, bahwa dia baru saja mencuri–nada harapan itulah yang terus bertalu-talu dalam telingaku.
“Aneh,” pikirku ketika itu. Seharusnya dia pergi sejauh mungkin dan bersembunyi di suatu tempat. Dia mengatakan bahwa si pemilik rumah, bekas majikannya, memergokinya. Tapi dia justru datang padaku dan mengajakku minum kopi di warung.
Mungkin pada saat itu bekas majikannya sedang melapor ke polisi. Mungkin, tepat ketika kami berdua duduk di warung kopi, polisi sudah mengirim orang untuk mencarinya. Kami tidak banyak berbicara ketika itu, melewatkan waktu dengan berdiam-diam, was-was; aku dengan kekhawatiranku sendiri dan dia dengan pikiran-pikirannya sendiri di sana.
Terus terang aku khawatir turut terciduk karena diduga sebagai komplotannya. Sekiranya dia ditangkap bersama aku, tidak akan ada satu pun yang dapat menyatakan bahwa aku tidak terlibat dengannya. Pasti ada pasal-pasal untuk menjeratku. Karena itu dudukku tidak tenang, dan dia membaca kekhawatiranku itu.
Aku merasa bersalah dalam hati. Seharusnya aku percaya bahwa dia tidak akan melibatkan aku sekiranya ditangkap saat itu. Tapi bisakah orang lain, orang-orang yang akan menangkap kami, percaya bahwa aku memang tidak terlibat; itulah persoalannya. Tapi meski mengetahui hal itu dia tidak juga pergi dariku, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Kasihan dia, umurnya masih begitu muda!” pikirku ketika menatap sosoknya di koran. Dia begitu lesu, lemah, lusuh, dan kalah. Esok atau lusa aku harus mengunjunginya. Sebab dia kawanku, dan dia menganggapku sebagai kawan baiknya. Mungkin di sana dia ingin bercakap-cakap dengan orang yang dapat bersikap ramah padanya sesudah pencurian itu, mungkin dia ingin berbicara dengan orang yang sudah begitu akrab dengannya. Lagipula siapa tahu dia membutuhkan sesuatu di sana, sesuatu yang tidak dapat dia minta pada orang lain kecuali aku.
“Kasihan dia,” pikirku lagi. Aku sudah meyakinkannya bahwa pencurian itu tidak perlu, hanya akan mengotori tangan sendiri, dan menjelaskan bahwa memang begitulah keadaan yang biasa terjadi antara majikan dan orang upahan. Tapi dia tidak dapat menerima argumen yang aku berikan begitu saja. Aku sendiri sadar tidak pantas bagiku menyederhanakan persoalan itu untuknya, dan persoalan itu memang tidak sesederhana itu, kecuali untuk kebaikannya sendiri. Sebab apa yang berlangsung di dalam dirinya hanya terjadi di sana dan bukan di tempat lain; hanya dia yang tahu seluruh persoalan itu lengkap dengan akibat-akibatnya. Sebab dialah subjek pengalam dari persoalan itu, dan hanya dia sendirilah yang bertanggungjawab atas perbuatannya, bukan orang lain.
Setelah diberhentikan dari pekerjaannya dia mengatakan banyak hal padaku, tentang semua hal yang pernah dikatakannya padaku. Dia menceritakan lagi tentang mesin penggilingan yang dia masuki kerikil, tentang bagaimana dia menyala-matikan mesin, tentang hasil-hasil gilingan yang dia ludah, tentang bahan-bahan gilingan yang dia kencingi, tentang semua hal yang menurutnya tepat untuk dilakukan. Dan dari semua yang dia katakan, yang paling mudah diingat adalah, “Orang-orang seperti itu tidak dapat dibiarkan!” Maka bibit-bibit kenekatan tumbuh dengan cepat.
Yang dia maksud dengan 'orang-orang seperti itu' adalah bekas majikannya. Sebelumnya sering sekali dia mengeluh tentang pekerjaannya. Dia merasa dicurangi oleh majikannya. Ketika sedang jengkel dia selalu mengajak aku minum kopi di warung dan meluapkan kejengkelannya. Dia merasa majikannya mempermainkan jumlah jam kerjanya yang tidak jelas tanpa upah lembur; ini yang paling sering aku dengar. Kemudia upah yang seharusnya dia terima diundur beberapa hari. Belum lagi omongan-omongan tak sedap yang harus dia terima; ini juga yang tak kalah sering aku dengar.
Jika sudah seperti itu, aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa memang begitulah keadaannya jika kita bekerja mengikuti majikan. Tapi dalam keadaan seperti itu, dia sudah tidak dapat ditenangkan lagi. Yang bisa aku lakukan hanyalah diam dan mendengar keluhan-keluhannya.
Sebenarnya keluhan-keluhan itu sudah begitu sering aku dengar sampai kadang-kadang aku tidak tahan lagi. Kalau sudah begitu, peranku bukan lagi pasif sebagai pendengar, tapi sebagai lawan bicara aktif yang tanpa sadar membuatnya makin berapi-api menelanjangi kecurangan majikannya–aku khawatir, jangan-jangan aku juga turut andil dalam menjadikannya sebagai seorang pencuri!
Pada dasarnya dia sadar bahwa dia berhutang budi pada majikannya. Dengan memberi dia pekerjaan, sang majikan telah menyelamatkan kehidupan eknominya. Meski tidak cukup tapi keadaannya lebih baik dibandingkan dia menganggur. Tapi justru hutang budi inilah yang pada gilirannya nanti menyakitinya dengan dalam. Sebab itu tidak memberi hak pada sang majikan untuk berbuat 'seenak udelnya' (kata-kata ini yang dia gunakan) pada orang lain. Sebab di sana dia diupahi karena pekerjaannya, sebab tenaga yang dia miliki dia kerahkan utuk pekerjaannya, sebab waktunya dia gunakan untuk mengabdi pada majikannya, bukan karena duduk diam berpangku tangan dia digaji. Seharusnya sang majikan memperlakukannya sebagai aset penting yang harus dijaga dan dipelihara, bukan seperti kain gombal yang setelah kotor dengan seenaknya saja dilontari kata-kata pedas.
Dia juga menganggap bahwa ternyata mesin-mesin itu lebih berharga dari dirinya. Jika mesin-mesin itu rusak atau rewel, dia harus mendengarkan omelan majikannya yang lalu memerintahkan supaya mesin itu segera diperbaiki; tanpa perintah dan omelan itu pun dia sudah akan memperbaikinya karena itu adalah kewajibannya sebagai pekerja, dan oleh karena itu hak-haknya sebagai manusia untuk mendapat perlakuan sopan harus didapatkan juga. Tapi jika dia yang tidak masuk kerja karena sakit atau terlambat datang karena sebab-sebab tak terduga, sang majikan mengomelinya tanpa memperhatikan jumlah jam kerja lebih yang tidak pernah dihitung. Mesin boleh rewel atau sakit dan dia akan memperbaikinya, tapi jika dia yang rewel atau sakit, sang majikan malah mengomelinya. Dia tidak habis pikir, “bukankah upah harian yang dipotong seharusnya cukup untuk membuat majikan tidak ngomel?!” Dia sendiri pun tidak ingin terlambat dan tidak ingin bolos karena hal itu akan merugikannya. Tapi pasti ada dalam satu hari saat-saat di mana dia tidak dapat pergi bekerja atau harus datang terlambat. Dia bukan mesin yang ketika sakit atau lelah hanya perlu diobati dan diistirahatkan saja. Dia juga bangunan mental di mana moral bekerjanya sangat mungkin mengalami penurunan; dan pada saat seperti inilah dia merasa tidak berharga bagi majikannya.
Sudah hampir dua tahun dia bekerja pada majikannya. Selama itu dia berusaha menjaga supaya tetap produktif ketika moral bekerjanya mengalami penurunan. Dia tidak ingin dicap tidak tahu balas budi dengan bekerja bermalas-malasan. Tapi mendekati akhir masa kerjanya, dia tidak lagi mempertahankan keseimbangan dirinya dan membiarkan dirinya dikuasai oleh suasana hatinya. Dia menjadi mudah sekali curiga dan tersinggung pada majikannya.
Dia mulai membandingkan antara tempat kerjanya dengan tempat-tempat kerja lain. Dia mengecam tidak adanya kontrak kerja antara majikan dan dirinya. Tanpa kontrak kerja itu dia merasa tidak ada kejelasan statusnya sebagai pekerja, juga tentang jumlah jam kerja, upah lembur yang mestinya didapat, batas-batas apa yang menjadi kewajibannya dan yang bukan, sangsi yang harus dia terima jika melanggar aturan tertentu, ataupun penghargaan karena telah bekerja lebih baik dari sebelumnya. Tanpa kontrak kerja dia melihat dirinya begitu lemah dan mudah ditekan. Pada batas-batas tertentu, dia melihat dirinya bukan lagi sebagai pekerja melainkan sebagai budak.
Pada tahap ini dia bukan lagi melihat majikannya sebagai majikan yang berlaku sewenang-wenang padanya, tapi juga sebagai kekuatan jahat yang mengeksploitasi dan menindasnya. Dia tidak dapat menerima hal ini. Sebab antara dia dan sang majikan memiliki hubungan saling ketergantungan. Dia membutuhkan gaji dan pekerjaan dari majikannya, dan majikannya membutuhkan dirinya untuk melakukan proses produksi dan mengawasi alat-alat produksi. Tanpa dia proses produksi tidak akan berjalan dan mesin-mesin itu tidak akan terpelihara. Tapi justru di sinilah dia merasa dirinya benar-benar lemah. Sebab dia, pribadinya sebagai pekerja, dapat digantikan oleh orang lain. Artinya, dia dapat disingkirkan sewktu-waktu sekiranya keberadaannya dirasa tidak lagi menguntungkan atau mengganggu. Melihat kesimpulan seperti itu dia merasa seluruh tenaga dan dan waktu yang dia habiskan tidak ada artinya.
Lalu mulailah dia memasukkan kerikil ke dalam mesin penggilingan supaya mesin itu cepat rusak. Atau memati-nyalakan mesin dengan tiba-tiba supaya biaya listrik naik. Atau meludahi hasil gilingan dan mengencingi bahan-bahan yang hendak digiling supaya terpuaskan sakit hatinya. Dengan berbuat begitu dia ingin menyatakan pada majikannya bahwa dia adalah aset yang paling berharga, yang lebih dari sekedar mesin-mesin itu. Berjalan atau tidaknya proses produksi, tinggi-rendahnya keuntungan yang didapat, bermula dari dia. Dialah yang sepanjang hari berada bersama alat-alat produksi dan bahan baku produksi. Dialah yang mengawasi seluruh tempat produksi ini sepanjang waktu; pemasaran boleh saja menjadi ujung tombak dari seluruh proses produksi, tapi dialah batu asah yang tak nampak di hadapan musuh. Dia berpikir, “jika majikan memiliki kekuatan untuk menindas, mengapa aku tidak!”
Maka perang dingin pun terjadi. Dia tidak lagi membantah omelan majikannya tapi berpikir, “bagaimana jika bahan-bahan yang hendak digiling dicampur kotoran kucing.” Dan tinggal menunggu waktu sebelum pikiran seperti itu diwujudkan. Esok, atau lusa, atau entah kapan, pasti pikiran itu akan dinyatakan dengan tindakan, jika sakit hatinya sudah tak tertahan lagi. Tidak ada yang tidak mungkin baginya sekarang. Dia tinggal menunggu alasan yang tepat untuk melakukannya.
Sebenarnya dia tidak ingin melakukan semua itu. Tapi suatu kesadaran tumbuh dalam dirinya, kesadaran bahwa pada dasarnya dia juga berkuasa atas majikannya. Penguasaannya pada alat-alat produksi dan proses produksi merupakan kekuatan, kekuatan yang dapat dia gunakan untuk melawan penindasan yang dilakukan sang majikan. Dia tidak akan melepas kekuatan itu begitu saja.
Lama-lama majikannya menjadi curiga. Sebab dia terlihat begitu angkuh dan melawan tiap kali diomeli. Sang majikan menduga ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang mungkin sangat merugikan. Mempekerjakan orang baru merupakan salah satu pilihan. Rotasi dapat menjadi alasan yang bagus.
Dari situ sang majikan mempekerjakan orang baru dengan tugas tambahan khusus: melaporkan keadaan di lapangan. Melalui pekerja baru ini sang majikan berharap dapat mengetahui ketidakberesan yang dicurigai ada di lapangan.
Bodohnya, dia terlambat menyadari hal ini. Dia begitu bangga dengan kekuatan yang ada padanya. Dia merasa bahwa seluruh buruh berada bersamanya, dan dia merasa berkewajiban menyampaikan pengertian tentang kekuatan yang dia dan semua buruh miliki pada orang lain, pada pekerja baru di tempat kerjanya.
Tidak dibutuhkan waktu lama bagi sang majikan untuk mengetahui ketidakberesan yang terjadi. Dari informasi yang didapat sang majikan menyimpulkan perbuatannya sebagai: sabotase.
Suatu hari dia dipanggil oleh majikannya. Melihat cara bicara majikannya yang begitu sopan dan bijak dia tidak menyadari bahwa majikannya menyembunyikan maksud memberhentikannya. Dia hanya melihat bahwa sikap lain yang ditunjukkan majikannya itu merupakan buah dari perlawanan yang dia lakukan. Dan dia menjadi begitu percaya diri. Dia berpikir, “Jika aku saja dapat melihat semua itu, tentu majikanku juga.” Berangkat dari situ, tanpa diminta, dia mulai menjelaskan apa yang sudah dia lakukan dengan kata-kata 'yang mungkin dia lakukan' jika sang majikan tidak mau melihat keberadaannya lebih manusiawi lagi. Dia begitu jauh dari daratan sehingga tidak menyadari bahwa sudut pandang seorang majikan dan seorang buruh berbeda.
Jelas sudah alasan bagi sang majikan untuk memberhentikannya. Begitulah dia dilereni, tanpa pesangon tanpa apa-apa. Tenaga, pikiran, dan waktu yang dia habiskan di tempat itu selama hampir dua tahun seolah-olah tidak ada artinya. Alasannya: kinerjanya mulai menurun. Dan dia tidak memprotes alasannya dilereni karena sadar bahwa dia sudah mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan majikannya, kebenaran bahwa dia juga berkuasa atas majikannya.
Tapi justru ketiadaan alasan inilah yang membuatnya nekat mencuri, dan mendapat pembenaran di dalamnya. Dia sudah bersedia berdamai dengan menyerahkan senjata yang dimilikinya dengan harapan bahwa majikannya akan mulai memperhatikan dirinya lebih manusiawi lagi. Tapi kesediaan damai itu malah direspon dengan melereni dirinya. Tidak dapat tidak dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang membuat majikannya sadar bahwa dia sudah mengenal sistem di tempat kerjanya.
“Kasihan dia,” pikirku. Judul berita tentang dia cukup menarik: TAK DAPAT PESANGON, RUMAH MAJIKAN DIBOBOL. Disebutkan alasannya mencuri: “sakit hati dan –lagi-lagi– kebutuhan ekonomi. Mungkin pada wartawan dan orang lain sang majikan akan menyebutnya sebagai orang yang tidak tahu balas budi. Tapi tidak akan ada yang menyebut tenaga dan waktu yang dia habiskan untuk majikannya, juga jam-jam lembur yang tidak dibayar, dan omelan-omelan yang memanaskan telinga; kecuali dalam igauan malam sang majikan, mungkin.
Sekarang dia akan dicap sebagai seorang pencuri, seorang kriminil; dan cap itu akan melekat selamanya. Alasan sakit hati dan ekonomi yang tertulis hanya akan membuat orang-orang yang membaca beritanya menyatakan bahwa sebenci dan semiskin apapun seseorang, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengambil milik orang lain. Tidak ada yang melihat bahwa dengan semua tindakan yang sudah dia lakukan itu dia ingin mengatakan sesuatu.
“Ah, benar-benar kasihan dia!” pikirku. Esok atau lusa aku harus mengunjunginya. Dia kawan dekatku dan dia banyak bercerita padaku. Mungkin dia butuh seseorang yang mau mendengar kata-kata yang diucapkannya, meski aku merasa bukan orang yang tepat untuk dapat mengerti apa yang hendak dia sampaikan itu.

Sabtu, 20 November 2010

Reality Show Kita

Rupanya pemirsa televisi kita tidak dapat lagi dipuaskan hanya dengan drama sinetron. Harus ada tangisan yang benar-benar tangisan, harus ada pertengkaran yang benar-benar pertengkaran, harus ada pihak-pihak jahat untuk dikalahkan, harus ada yang benar-benar jujur dan sabar yang pada akhirnya menang; baru dengan itu pemirsa dapat dipuaskan. Sebab dengan hanya menonton sinetron pemirsa menyadari bahwa adegan-adegan dalam sinetron itu hanyalah rekayasa. Dengan begitu berkuranglah kepuasan yang mungkin didapat dari hanya menonton sinetron.
Maka dibuatlah konsep tentang tayangan di mana tangisan yang ada merupakan tangisan yang sesungguhnya dan penderitaan yang ada merupakan penderitaan yang sebenar-benarnya: reality show. Dengan mengangkat realitas sebenarnya ke dalam layar kaca diharapkan tangisan, pertengkaran, dan segala hal yang ada di dunia nyata dapat ditampilkan dengan sebenar-benarnya, bukan dalam fiksi seperti dalam drama sinetron. Terpuaskankah permirsa dengan hiburan-hiburan ini?
Ya, sebab rating dalam tayangan-tayangan reality show cukup tinggi. Pada dasarnya dengan mengangkat realita sesungguhnya ke dalam konsep seperti reality shiw merupakan hal yang baik. Sebab pemirsa dapat membuka diri terhadap kenyataan bahwa hidup tidak semudah seperti tergambar dalam tayangan-tayangan sinetron. Tapi tayangan reality show ini bukan tanpa persoalan, bahkan persoalan yang ada tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kemampuan utama yang dimiliki oleh media dengan jangkauan yang cukup luas seperti televisi adalah kemampuannya membentuk opini publik. Ketika menyaksikan suatu fenomena yang ada di hadapannya, tanpa sadar pemirsa dilibatkan dalam fenomena yang disuguhkan tersebut. Mungkin keterlibatan itu berupa tindakan mental seperti munculnya rasa simpati atau mungkin juga keterlibatan itu berupa tindakan verbal seperti menyatakan bahwa si A bersalah dan sebagainya. Lebih jauh, keterlibatan itu dapat menjadi dasar dalam penilaian ketika dalam kehidupan sehari-hari pemirsa menghadapi fenomena yang hampir mirip dengan fenomena yang pernah dilihatnya.
Sepintas uraian di atas menunjukkan kenyataan yang terbalik. Artinya, berdasarkan pengalaman sehari-harilah penilaian pemirsa didasrakan ketika menilai fenomena yang diangkat dalam reality show. Jauh sebelum menyaksikan tayangan semacam realith show pemirsa sudah memiliki kategori-kategori baik dan buruk, salah dan benar, dan sebagainya. Reality show hanyalah ulangan dari fenomena yang terjadi di sekeliling pemirsa dalam kehidupan sehari-hari; namun realitas yang diangkat dalam reality show bukanlah realitas yang sebenarnya melainkan realitas yang berpihak. Dan frekwensi penayangan yang tinggi dan berulang-ulang dapat membentuk kesepakatan tertentu di kalangan pemirsa.
Konsep umum yang selalu ada dalam sebuah hiburan adalah, ada pihak-pihak menderita yang pada akhirnya menang, harus ada pihak-pihak yang diselamatkam, harus ada pihak-pihak yang dikalahkan. Konsep seperti ini menyederhanakan realitas, menjadikan hubungan antar-individu dalam tayangan reality show menjadi hubungan subjek-objek. Subjek inilah yang digambarkan kehidupannya secara lengkap, yang pa akhirnya nanti akan dimenangkan. Dan dimenangkan bukan berarti mendapatkan segala yang diinginkan, tapi juga simpati dari pemirsa.
Dengan mengkategorikan hubungan antar-individu ke dalam subjek-objek maka realitas yang dominan adalah realitas subjek. Realitas subjek digambarkan dengan detil dan dioposisikan dengan realitas objek yang kurang dominan. Objek tidak diberi kesempatan untuk menggambarkan kehidupannya. Hanya segi yang berkaitan dengan subjek saja yang digambarkan, selebihnya objek hanyalah sosok yang gelap, yang tidak diketahui kehidupannya, yang mana pada akhirnya dikalahkan oleh subjek. Sebab keberadaan objek hanya dimungkinkan dalam oposisinya dengan subjek. Sedang subjek dapat tetap ada tanpa kehadiran objek.
Contoh yang paling mudah adalah 'peminta-minta'. Subjek, peminta-minta, diidentifikasi dengan lengkap. Sedangkan objek yang dimintai sama sekali tidak diidentifikasi dan hanya ditampilkan dalam hubungannya dengan subjek. Yang tidak menguntungkan lagi, objek didatangi setelah subjek berlalu dan ditanyai apa alasannya tidak mau membantu subjek yang minta tolong padanya tadi.
Realitas apakah yang ditampilkan di sini? Realitas yang berpihak. Realitas yang memenangkan pihak tertentu dan mengalahkan pihak lain dengan strategi menghilangkan identifikasi pada pihak lain. Jika reality show bertujuan mengangkat realitas sebagaimana adanya, mengapa ada pihak-pihak yang 'dikalahkan'? Mengapa ada pihak-pihak yang tidak diidentifikasi secara utuh? Seorang pedagang bakso yang di rumah istri dan anaknya menahan lapar dipaksa membantu seorang bocah dengan membeli barang yang ditawarkan lebih dari harga biasanya; salahkah jika penjual bakso itu, yang mungkin saja laba yang didapat hari ini tidak cukup untuk menafkahi anak dan istrinya, tidak membantu gadis itu? Tidak! Siapapun tidak dapat disalahkan begitu saja jika tidak mau membantu gadis itu; mungkin justru penjual bakso itulah yang sebenarnya harus ditolong.
Tapi justru penilaian yang menyatakan bahwa penjual bakso itu salah inilah yang sepertinya hendak ditekankan. Penilaian seperti ini sangat mungkin ada di benak pemirsa ketika melihat gadis kecil itu berlalu tanpa mendapat pertolongan. Di sini persoalan yang ada bukan hanya hubungan subjek-objek saja, konsep reward and punishment merupakan bentuk penilaian yang hendak ditekankan pada pemirsa. Sebab ketika pada akhirnya ada objek yang bersedia membantu gadis itu, maka reward akan diberikan pada objek tersebut.
Mungkin pemirsa diarahkan untuk 'menghukum' objek yang tidak mau membantu gadis itu. Mungkin pemirsa diarahkan untuk bersikap sama jika dalam kehidupan sehari-hari ditemui fenomena serupa itu, di mana tiba-tiba muncul seseorang yang meminta bantuannya. Dalam kerangka pemikiran marxisme kesimpulannya bisa sangat berbeda.
Begitu juga dengan tayangan reality show yang lain. Individu dimasuki kehidupan pribadinya dan dijadikan objek yang dioposisikan dengan subjek. Dan subjeklah yang pada akhirnya harus menang. Dalam konsep fiksi, subjek dijadikan sebagai tokoh protagonis di mana simpati pemirsa diarahkan padanya sedangkan objek diposisikan sebagai tokoh antagonis, sebagai tokoh yang di akhir cerita harus menderita 'kekalahan'.
Dalam memilih acara hiburan untuk ditonton pemirsa harus lebih kritis. Kekritisan ini dapat melepaskan pemirsa dari konsensus tertentu yang (sadar atau tidak sadar) hendak dibentuk melalui tayangan-tayangan tertentu. Dengan begitu pemirsa dapat lebih arif dalam menilai fenomena yang disuguhkan padanya.
Surabaya, 22 Juni 2009

Catatan dari Bawah Tanah: Proses Kemenjadian Diri

Fyodor Dostoyevsky (1821-1881) merupakan seorang sastrawan eksistensial, terutama dalam novelnya Catatan dari Bawah Tanah. Iwan Simatupang dalam sebuah essainya menyebut tokoh dalam novel ini sebagai Manusia Souterrain. Tampaknya Iwan tertarik dengan sisi gelap tokoh aku dalam novel ini. Novelnya yang berjudul Kering diwarnai nuansa eksistensialisme Dostoyevsky.
Bagi pembaca Indonesia tampaknya novel-novel Dostoyevsky kurang populer dibandingkan karya-karya sastrawan Rusia lain seperti Tolstoy atau Chekov. Meski demikian karya-karya Dostoyevsky turut berpengaruh dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia, terutama pada novel-novel Iwan Simatupang. Sartre pun mengadopsi pemikiran Dostoyevsky dalam filsafatnya.
Kelebihan novel Catatan dari Bawah Tanah ini terletak pada analisis yang tajam terhadap kesadaran eksistensi manusia. Sebuah profil psikologis lengkap tentang seseorang yang hidup menyendiri di kota St. Petersburg pada suatu masa tertentu (abad 19) dapat ditemukan dalam novel ini. Pada awal sekali tokoh aku dalam novel ini sudah mengungkapkan jati dirinya dengan menulis, “Aku orang sakit..Aku seorang pendendam. Aku orang yang tidak menyenangkan.” Lebih jauh, ke-aku-an yang diungkapkan tokoh tersebut ternyata lebih dari sekedar luapan keputusasaan akibat tekanan dari kehidupan terpisah yang dipilihnya.
Novel pendek yang ditulis dalam bentuk catatan ini cukup menarik; ditulis oleh seorang tokoh berusia 40 tahun di mana di dalamnya berisi pandangan beserta pengalaman-pengalaman pahit di masa lalu, dan pikiran dan perasaan yang mungkin ada bersama pengalaman itu. Secara umum, keseluruhan isi novel ini bergerak menuju satu muara: mengantarkan pembaca pada pembentukan argumen yang dikemukakan tokoh aku di awal catatannya. Pemaparan watak, karakter, pandangan, perilaku, dan cara-cara tokoh berhadapan dengan realitas dimaksudkan untuk sampai pada argumen tersebut.
Secara objektif tokoh aku dalam novel ini tergambar negatif di depan pembacanya. Sebab yang hendak diungkapkan bukanlah sisi positif dirinya melainkan sisi negatif dirinya. Makna eksistensi individu ditemukan dalam hubungannya dengan orang lain, tapi siapa yang mau berkawan dengan seseorang yang penuh dengan prasangka buruk pada orang lain? Tapi justru itulah yang hendak disampaikan oleh Dostoyevsky. Jika Kierkegaard mengatakan tidak memahami kisah Abraham untuk mengungkapkan ironisme pemahamannya, ironisme tokoh Dostoyevsky terletak pada pengungkapan sisi negatif dirinya. Artinya, dalam berhubungan dengan orang lain individu harus diterima lengkap bersama sisi-sisi negatif dalam dirinya. Tanpa menerima sisi negatif itu hubungan antar-individu akan menjadi hambah, penuh kepura-puraan, dan tak bermakna; jelas bukan hubungan seperti ini yang dikehendaki Dostoyevsky.
Hubungan antar tokoh dalam novel ini merupakan usaha untuk mengungkapkan sisi negatif tersebut. Tokoh aku dalam novel ini memliki kecendrungan untuk menelanjangi orang lain. Penelanjangan tersebut dimaksudkan supaya orang lain juga memahami eksistensi diri yang lemah. Dengan menyadari kelemahan tersebut hubungan yang lebih bermakna baru mungkin tercapai. Individu di hadapan individu lain tidak harus membanggakan kelebihannya; sebab semua kelebihan itu tidak ada artinya ketika hanya ada 'aku' dan 'diriku sendiri'. Membanggakan diri pada diri sendiri dan orang lain hanyalah perbuatan sia-sia, palsu, dan tak bermolah–celakanya, justru inilah yang terjadi di sekeliling tokoh aku. “Hanya keledai dan bagal yang bersifat perwira, itu pun sampai mereka didesak ke dinding,” tulis tokoh aku dalam catatannya.
Tapi rupa-rupanya tokoh-tokoh yang dioposisikan dengan tokoh aku tidak mau(tidak dapat) memahami eksistensi diri yang lemah; mulai dari kerani yang tidak menyadari bahwa dirinya menjijikkan untuk dipandang, letnan berbadan tegap, dan Zherkov. Hanya pada tokoh Lizalah eksistensi diri yang lemah diakui–ada yang hendak disampaikan Dostoyevsky melalui tokoh Liza ini.
Hbungan yang alot antar tokoh dalam novel ini dapat dilihat dari konsep Sartre yang menyatakan bahwa neraka ialah sesama kita. Sebab hubungan antar-subjek berubah menjadi hubungan subjek-objek. Tokoh aku dalam novel ini tidak bersedia menerima dirinya dijadikan sebagai objek oleh individu lain. Dia tidak ingin keberadaannya dijadikan sebagai objek yang mendukung subjek tertentu, dia ingin berperan sebagai subjek juga. Hal ini nampak pada sikapnya yang lebih memilih diam daripada turut dalam pembicaraan antara atasannya dengan orang lain yang membicarakan kewajiban berlebih, usahanya berad bahu dengan letnannya, serangannya pada Zherkov, dan usahanya untuk menaklukan 'Liza yang malang'.
Sayangnya dari semua usaha mensejajarkan diri itu hanya satu yang berhasil, yaitu pada Liza seorang. Dengan letnannya tokoh aku hanya memperoleh kepuasan palsu, pada atasannya dia tidak memiliki kuasa untuk mengubah topik pembicaraan, dan pada Zherkov dia ditinggalkan seorang diri dalam keadaan setengah mabuk. Maka tercptalah neraka dalam hubungan dengan 'dunia luar'. Sebab dunia luar tidak bersedia mengakui esksistensinya sebagai subjek. Dunia luar mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya. Dia tidak sepakat bahwa penampilan seseorang harus seperti ini atau itu, dia tidak sepakat bahwa sudah menjadi nasib bagi seorang bawahan untuk selalu menjilat atasannya, dia tidak sepakat bahwa keberhasilan seseorang dinilai dari pangkat yang didapat, dia tidak sepakat bahwa orang-orang seperti Zherkovlah orang yang patut dipuji dan diikuti. Dalam kekalahannya tokoh aku menulis, “Jadi begini rupanya, akhirnya terjadi juga–hubungan dengan hidup sesungguhnya.”
Kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya inilah yang disebutnya sebagai hukum alam, hukum yang melukainya dengan dalam. Pada dasarnya kesepakatan-bersama itu baik karena mengarahkan orang-orang pada pandangan positif, tapi bukan berarti dia tidak dapat mencibir dan menjulurkan lidahnya pada kesepakatan-bersama itu. Dia merasa dirinya bukan tuts piano yang begitu ditekan mengeluarkan nada tertentu. Artinya, jika suatu kekuatan asing mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama itu, dia memiliki kebebasan untuk tidak mengarah ke sana. Sebab eksistensi dirinya memang tidak terarah ke sana. Dia melihat orang-orang di sekelilingnya menjalai hidup yang tidak otentik dan merasa nyaman di dalamnya, karena itu dia memilih memisahkan diri.
Secara psikologis dapat dibantah bahwa tokoh aku membenci kesepakatan bersama karena dia tidak berada pada posisi di mana ide-idenya diikuti dijadikan sebagai kesepakatan-bersama. Sekiranya berada pada posisi yang diikuti tentu dia akan mencemooh habis-habisan orang-orang yang menentangnya. Tapi justru di sinilah eksistensialisme dalam novel ini bergerak. Dalam konsep Kierkegaard dikatakan bahwa putus asa adalah kebalikan dari mau menjadi diri sendiri sebagaimana adanya. Tokoh aku berusaha keras menjadikan dirinya sebagai pihak yang diikuti dan dibanggakan orang lain. Tapi tidak dapat tidak dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya lemah dan terasing. Ide-idenya tidak akan diikuti karena hanya akan mengantarkan orang lain pada sisi gelap masing-masing–tokoh Simonov meninggalkannya setelah berhasil ditaklukkan.
Keputusasaan ini mengantarkan tokoh aku ditepi jurang hidupnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menahannya untuk tidak jatuh kecuali dirinya sendiri. Dan pada tahap-tahap tertentu dia tidak lagi takut pada 'kemungkinan' kejatuhan dirinya; sebaliknya, malah menemukan kenikmatan di dalam pesaran kehinaan itu.
Ditinjau dari konsep Kierkegaard, keputusasaan tokoh aku dalam novel ini merupakan keputusasaan yang disadari dan negatif sifatnya. Dia sadar bahwa dia berputusasa, dan ingin mengantarkan orang lain pada keputusasaannya masing-masing, tapi tidak menyadari bahwa orang-orang lain itu pada dasarnya pernah berada dalam putus asa juga. Dia tidak habis pikir, bagaimana orang lain bisa tidak menyadarinya. Karena itu dia menganggap kesadaran yang dimilikinyalah kesadaran yang paling tinggi dan, dengan gaya ironis, menyatakan bahwa seorang lelaki cerdas, sebagai akibat kesadarannya yang tajam, tidak mungkin bisa menjadi apa-apa.
Sikap tokoh aku dalam menghadapi keputusasaannya itu bersifat menentang. Kita andaikan bahwa penulis catatan itu adalah seorang lelaki berusia 40 tahun yang sebagian profilnya sudah kita ketahui; lelaki ini, daripada menerima dengan pasrah keadaan dirinya yang tersakiti, memilih menentang tingkah nasib padanya. Penderitaannya dia terima dengan bersikap melawan. “Setiap saat aku sadar akan unsur yang banyak, banyak sekali, yang bertentangan dengan hal itu,” tulisnya. Lebih jauh lagi dia menulis, “Aku tahu mereka selama hidupku berkumpul dalam diriku dan mencari jalan untuk keluar, tapi aku tidak akan membiarkan mereka keluar, dengan sengaja.”
Dengan ide seperti itulah tokoh aku ingin dipuji dan diikuti. Seperti Kierkegaard dan Sokrates, tokoh aku dalam novel ini menyampaikan pengertian tentang eksistensi manusia dengan gaya yang ironis. Tapi usahanya itu tidak dihargai dan malah berakibat pengucilan padanya, karena itu dia merasa putus asa. Sebab dia tidak dapat menjadi seperti yang diinginkannya sendiri. Pada akhirnya, setelah terdorong sedemikian rupa hingga ke tepi jurang kehidupannya, dia melakukan lompatan eksistensial dengan menuliskan dalam catatannya, “Aku orang sakit...”
Kesimpulannya, novel Catatan dari Bawah Tanah ini merupakan perjalanan tokoh aku dalam menjadi diri sendiri. Kemenjadian ini dilewati melalui proses hubungan dengan individu lain. Namun proses menjadi diri sendiri ini belum usai selama tokoh aku tersebut hidup. Sebab pengalaman tokoh aku belum usai, pengalaman itu tak terbatas dan tak selesai; menulis catatan merupakan salah satu cara melestarikan hubungan dengan diri sendiri. Sartre mengatakan, aku bukan diriku, dan aku akan menjadi diriku. Dalam catatannya tokoh aku menulis, “Aku akan lebih bisa mengkritik diriku sendiri, dan memperbaiki gayaku. Di samping itu, siapa tahu dengan menulis aku dapat memperoleh rasa lega.” dengan membuat catatan tersebut tokoh aku berusaha menuju ke arah 'akan menjadi diri' dengan jalan mengabstraksi pengalaman-pengalamannya yang sudah dilaluinya untuk menapak pengalaman-pengalaman yang akan didapatnya.
Surabaya, 10 Juli 2009

Rabu, 03 Maret 2010

no tittle

to: perempuan yang dipanggil "sa"

tangismu di seberang telpon sana
menjadi hujan di sini
sudah itu saling diam
......................
....................
................
...................
...............
di akhir: nada panjang telpon ditutup

Senin, 08 Februari 2010

catatan 02 February 2010

Mengapa dekat tempat kita duduk sebuah pintu air dibangun? Sungai di sebelah kita berasal dari mata air jauh, di antara lembah-lembah dataran tinggi malang, turun menikung tajam di sekitar Kesamben-Blitar, menikung lagi dengan tajam di Kediri, lalu terus, terus, dan dipecah menjadi dua: kali porong; sejarah panjang dialirkan di sungai ini! Jauh sebelum sampai kemari, sungai ini sudah membagi beban airnya dengan kali porong. Begitu masuk ke kota, beberapa pintu air didirikan; salah satunya berdiri tak jauh dari tempat kita duduk, sa. Apa jadinya tempat kita duduk, dan tempat-tempat lain di sekitar bantarannya, tanpa ada yang dibagi dan tanpa didirikan pintu-pintu air..?!
Kita tidak akan pernah duduk di sini, di antara api lilin yang bergoyang lemah di terpa angin lembab bulan februari, apalagi bercakap-cakap. Begitu juga geletar hasrat ini, naik dari kedalaman hati, lalu melewati hari-hari sepi, tertahan sekian waktu tanpa pertemuan...tapi pada permukaan sungai tidakkah kau lihat airnya bergejolak?
Seperti itu juga geletar hasrat di dalam sini. Terpecah dan tertahan. Bukan hanya karena kesonapan maupun etika, tapi juga untuk menjaga supaya percakapan yang mungkin terjadi di masa depan tetap lestari. Bisa saja aku berdiri dan memegang tanganmu. Atau menarik tanganmu dan merapatkan tubuhmu ketika kita berkendara pulang, atau...apapun yang mungkin dilakukan seorang lelaki pada perempuan yang digilainya (jika seperti ini, tidak ada lagi akal sehat, sa; situasi yang aku harapkan dengan takut-takut)!