Rabu, 21 Januari 2009

Alienasi dan Burnout

Ketika para pekerja merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak berarti sama sekali dan usaha mereka dirasa kehilangan nilai, atau ketika mereka tidak melihat hubungan antara apa yang mereka lakukan sekarang dengan hasil akhir, apakah yang akan terjadi?
Tampaknya alienasi menjadi problem yang mudah sekali berjangkit di kalangan pekerja, terutama pekerja dengan sistem kontrak di mana mereka tidak memiliki kepastian yang jelas di masa depan, apakah kontrak mereka akan diperpanjang oleh perusahaan ataukah tidak. Juga sebagai akibat dari tidak nyatanya hasil yang telah susah payah mereka kerjakan. Proses produksi yang mereka lakukan selama berjam-berjam berada di tempat kerja, seakan sia-sia karena tidak mampu mereka ketahui wujud nyatanya dalam pengertian sebagai seorang pekerja yang mencipta.
Alienasi merupakan proses menuju keterasingan, sebuah keadaan di mana pekerja merasa terasing dari lingkungannya. Keterasingan tersebut dapat berupa keterasingan pekerja terhadap hasil produksinya, keterasingan pekerja terhadap profesi yang digelutinya sendiri, keterasingan pekerja terhadap lingkungan sosialnya, dan keterasingan terhadap sifat manusiawinya sebagai seorang yang memiliki daya cipta.
Bagaimana keterasingan pekerja terhadap hasil produksinya telah dibahas dengan baik dalam Marxisme. Intinya, seorang pekerja tidak lagi memiliki hak secara penuh atas hasil pekerjaannya. Untuk keterasingan pekerjaan terhadap profesinya sendiri dapat dilihat pada banyaknya keluhan para pekerja terhadap pekerjaan mereka. Mereka mengeluhkan gaji yang tidak sesuai dengan jam kerja yang dijalani, mereka mengeluhkan banyaknya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi, mereka mengeluhkan hubungan yang tidak sehat antara diri mereka dengan atasan, mereka mengeluhkan tidak adanya kemungkinan karir di dalam pekerjaan mereka, mereka mengeluhkan bagaimana jika pekerjaan yang ada sekarang ditinggalkan karena di luar pekerjaan yang dipegangnya sekarang belum tentu ada pekerjaan lain yang mana berarti akan menjadi pengangguran. Dengan kata lain, pekerjaan yang digeluti oleh seorang pekerja lebih banyak didasarkan pada faktor keterpaksaan dari pada faktor bakat, kemampuan, atau pun ketrampilan. Mereka mau tidak mau harus menjalani pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan oleh mereka. Luar biasanya, manusia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk terbiasa dengan apa pun.
Bentuk keterasingan yang ketiga, yaitu keterasingan terhadap lingkungan sosialnya. Di sini seorang pekerja berhadapan dengan jam kerja yang panjang di mana kemungkinan baginya untuk beraktivitas lain menjadi kecil. Dalam satu hari yang jumlah jamnya adalah 24 jam seorang pekerja harus berada di tempat kerjanya selama 10 jam yang berarti adalah 12 jam total waktu yang diperlukannya untuk melakukan pekerjaannya di mana masing-masing 1 jam untuk mempersiapkan dirinya untuk berangkat menuju tempat kerjanya dan 1 jam dibutuhkan untuk pulang dari tempat kerjanya menuju rumahnya. Dari 12 jam yang tersisa dalam sehari 8 jam yang lain digunakan untuk beristirahat, tidur. Untuk ukuran normal, 8 jam merupakan waktu yang cukup bagi seseorang untuk beristirahat. Dengan perhitungan seperti ini, seseorang memiliki waktu 4 untuk melakukan aktivitas lain. Aktivitas apakah yang bisa dilakukan oleh waktu yang hanya 4 jam lamanya?
Pada tahap ini seorang pekerja berhadapan dengan ketidakmungkinannya melakukan aktivitas lain yang menurutnya mampu membawa hasil. Manusia merupakan mahkluk yang tidak pernah puas bagaimanapun kebutuhannya. Apalagi bagi seorang pekerja yang memang dari pekerjaannya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Jalan lain yang mungkin untuk menyiasati minimnya gaji yang didapat dari sebuah pekerjaan adalah dengan cara mengambil pekerjaan tambahan. Dengan begitu mereka mampu bertahan dari terpaan badai kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi bagaimana dengan nasib seorang pekerja yang perhitungan jamnya telah disebutkan di atas?
Sedangkan yang terakhir, keterasingan terhadap sifat manusiawinya sebagai seorang yang memiliki daya cipta. Kepribadian sinisme merupakan predikator yang kuat dari terjadinya alienasi, yang mana menyebabkan timbulnya perasaan tidak puas pada pekerjaan. Predikator eksternal lain yang menyebabkan timbulnya alienasi adalah lingkungan pekerjaan itu sendiri.
Kadang arus tekanan yang datang dari sebuah pekerjaan lebih besar dari yang mungkin ditangani oleh seseorang, yang mana seringkali menimbulkan munculnya anggapan pada diri seorang pekerja bahwa orang lain sedang mengeksploitasi dirinya. Seorang pekerja yang mengalami kelelahan fisik akibat beratnya pekerjaan dan jam kerja yang panjang, kelelahan mental yang diakibatkan oleh tekanan pekerjaan, atau pun kelelahan emosi, dapat menyebabkan terjadinya burnout.
Keadaan yang begitu menguras fisik dan mental seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Seorang pekerja, bagaimanapun juga adalah manusia yang memerlukan perhatian dan perlakuan menyenangkan. Seringkali kita temukan atasan berbuat seenaknya terhadap. Mentang-mentang dia seorang manajer atau memiliki jabatan yang lebih tinggi dari orang lain, dia berbuat dan berkata seenaknya. Berapa banyak pekerja yang mengalami perlakuan seperti ini? Mengapa atasan atau orang yang lebih berkuasa cenderung untuk berlaku seenaknya? Apakah kedudukan mereka yang lebih tinggi memberikan hak pada mereka untuk berbuat atau berkata yang tidak menyenangkan pada pekerja yang kedudukannya lebih rendah? Apakah ada aturan tertulis dalam surat kontrak para pekerja bahwa seorang atasan bebas berbuat seenaknya pada bawahannya? Apakah seorang atasan harus mengucapkan sesuatu yang tidak menyenangkan pada bawahannya?
Ujung tombak sebuah perusahaan adalah bagian terkecil dari perusahaan itu, yaitu pekerja-pekerja paling kasar. Di dalam pabrik hal itu terwujud dalam pekerjaan produksi yang dilakukan oleh buruh. Di dalam bidang pelayanan seperti rumah sakit, hal itu terwujud dalam kecakapan masing-masing unit yang berhadapan langsung dengan pengguna jasa seperti kasir, suster, atau pun cleaning service. Melalui merekalah kebersihan, keteraturan, dan perawatan sebuah rumah sakit diserahkan. Seorang manajer tidak bisa apa-apa tanpa keberadaan masing-masing personil dari tiap unit. Hubungan yang sifatnya dua arah ini bukankah sebaiknya dijalankan dengan sikap saling menghormati di antara masing-masing pihak?
Untuk menghindari terjadinya kebangkrutan, sebuah perusahaan selain memperhitungkan rugi laba juga harus memperhitungkan kemungkinan terjangkitnya alienasi dan burnout di kalangan pekerjanya. Jika sebuah perusahaan para pekerjaanya mengalami keadaan ini, besar kemungkinan sebuah perusahaan akan mengalami kemunduran. Pekerja yang telah sekian waktu bekerja di sebuah perusahaan dengan ketrampilan yang mencukupi untuk menangani pekerjaan di perusahaan tersebut mungkin saja mengundurkan diri dari perusahaan tersebut dengan harapan akan memperoleh pekerjaan lain yang lebih baik. Akibatnya, perusahaan harus mencari seorang pekerja baru lagi, dan harus melatihnya supaya memiliki ketrampilan yang memadai sebagaimana dimiliki oleh pekerja sebelumnya yang telah mengundurkan diri.
Bisa saja sebuah perusahaan menggunakan sistem gali lubang tutup lubang dalam menyiasati hal ini. Akan tetapi setiap kali terjadi masuknya seorang pekerja baru, itu berarti pemugaran ulang dan pembelajaran ulang. Pekerjaan yang biasanya tertata rapi sesuai dengan cara-cara lama mungkin saja berubah. Akan baik sekali jika perubahan itu lebih baik dari sebelumnya. Tapi bagaimana jika perubahan itu jauh lebih buruk dari sebelumnya?
Di sini perusahaan akan mengalami kerugian non-materi. Jika selama ini mereka tempat parkir yang tertata rapi, selalu bersih tiap pagi dan sore, kini perusahaan menghadapi tempat parkir yang amburadul dan lebih sering kotornya dibandingkan bersihnya. Bagaimanapun juga, sebuah perusahaan membutuhkan orang-orang yang telah mengenali lingkungan kerjanya dengan baik. Dengan begitu pemeliharaan lingkungan kerja dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. bagaimanakah sebuah perusahaan menyikapi permasalahan internal di dalam perusahaannya??

Tidak ada komentar: