Rabu, 21 Januari 2009

Bias Gender

Emansipasi wanita yang berkembang begitu pesat saat ini ternyata belum mampu menghapus diskriminasi terhadap perempuan, khususnya dilingkungan kerja. Alasan utama yang mendasari hal ini adalah, sebagian besar orang-orang menyangkal suatu pekerjaan pada seseorang semata-mata atas dasar apakah orang itu laki-laki atau perempuan. Pada zaman di mana penyetaraan gender telah bergaung di mana-mana seperti saat ini, kita tidak bisa menutup telinga bahwa diskrimininasi gender masih terjadi di mana-mana, sadar atau tidak sadar, langsung atau tak langsung, terang-terangan mau pun sembunyi-sembunyi.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Secara tradisional, seorang lelaki telah dididik sejak kecil untuk menjadi seorang pekerja di masa depan. Sejak awal pertumbuhannya, anak lelaki diajarkan bahwa seorang lelaki dikenal dari pekerjaan yang mereka lakukan, dan semangat mereka sangat besar untuk berpikir mengenai pekerjaan apa yang nanti akan mereka lakukan. Di dalam permainan, hal ini ditanamkan dalam bentuk tim di mana satu dengan yang lain saling bekerjasama dengan kemampuan masing-masing yang dimiliki akan tetapi sekaligus juga bersaing di antara mereka sendiri. Hal itu dapat kita perhatikan pada permainan-permainan di mana anak laki-laki berperan di dalamnya, seperti benteng-bentengan, kartu, dan sebagainya.
Sebaliknya, secara tradisional perempuan tidak dididik untuk kebiasaan semacam ini. Ketrampilan yang mereka pelajari sungguh berbeda, mulai dari bagaimana melayani, mengatur kebersihan rumah tangga, patuh, dan sebagainya. Seringkali kita mendengar seorang ibu berkata pada anak perempuan, "Anak perempuan kok malas!" ketika seorang anak perempuan tidak mau menyapu, mencuci piring, atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Dalam jawaban yang diberikan atas pertanyaan, "apa cita-cita kamu jika besar nanti?" kita sering mendapat jawaban bahwa seorang perempuan ingin menjadi suster, bidan, sekretaris, atau pramugari; tapi kita jarang mendengar bahwa seorang perempuan ingin menjadi pilot, tentara, atau seorang mekanik. Begitu juga dengan anak laki-laki; orang tua sering merasa heran jika anak lelakinya tidak mau bermain dengan teman sebaya mereka di luar dan memilih menghabiskan waktu di rumah saja.
Hal lain yang juga berpengaruh pada tahap-tahap awal pendidikan ini adalah kecendrungan bagi anak laki-laki untuk bermain dengan anak laki-laki dan anak perempuan untuk bermain dengan anak perempuan. Secara spesifik permainan untuk anak laki-laki cenderung lebih kasar dan secara umum lebih kompetitif. Sedangkan permainan untuk anak perempuan kurang kasar dan kurang kompetitif sehingga bagi anak perempuan permainan untuk anak laki-laki selanjutnya, ketika berinteraksi dengan anak laki-laki yang sebaya, anak perempuan tidak siap untuk mempengaruhi - tindakan dan perhatian mereka cenderung untuk mendukung yang lain dan mempertahankan interaksi. Sebaliknya, interaksi pada anak laki-laki sering menyempit - mereka adalah subjek yang harus mencari perhatian dan dukungan dari rekan-rekan lain.
Hal lain yang berpengaruh pada awal pendidikan ini adalah karakter-karakter khusus yang mereka terima sebagai contoh dalam kehidupan mereka. Karakter-karakter yang mereka temui cenderung mengarahkan dengan tajam perilaku anak-anak yang berhubungan dengan jenis kelamin mereka. Anak belajar peran gender dengan cara yang sebagian besar sama, yaitu mempelajari perilaku sosial orang lain yang lebih dewasa - dengan menyaksikan dunia di sekeliling mereka dan belajar akibat dari tindakan yang berbeda. Dengan demikian, orang tua membentuk peran gender yang tepat pada anak, dan anak belajar apa budaya mereka dengan perilaku yang tepat untuk laki-laki dan perempuan dengan melihat bagaimana orang dewasa bertindak.
Dalam perilaku yang berhubungan dengan gender, bagaimanapun juga, orang tua memberi respon yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuannya. Akibat dari pendidikan ini, seorang anak berangsur-angsur mengidentifikasi sebuah grup dan mulai mengembangkan identitas gender dengan segala ciri-ciri yang dipatuhi di dalamnya.
Dengan keadaan pendidikan awal seperti ini apakah yang mungkin muncul bagi perempuan dalam karir mereka di masa depan? Diskriminasi gender, secara langsung mau pun tidak langsung. Kalau kita perhatikan di lingkungan kerja di mana laki-laki dan perempuan berada bersama-sama, mudah sekali kita temukan diskriminasi gender. Bukankah kita sering mendengar kalimat seperti ini, "Jangan disuruh yang berat-berat, kasihan perempuan." Secara tidak langsung hal ini mengindikasikan adanya diskriminasi gender. Dengan sangat halus hal itu menyiratkan pengertian bahwa sekali pun berada dalam profesi yang sama ternyata perempuan masih dipandang dengan sebelah mata, satu hal yang sepertinya harus segera kita perbaiki!
Begitu juga dengan seloroh-seloroh jorok yang terjadi di tempat kerja. Seringkali di tempat terjadi obrolan-obrolan cabul tentang perempuan terjadi di antara laki-laki, akan tetapi percakapan yang riuh itu segera terhenti jika rekan perempuan mereka kebetulan mendatangi mereka. Begitu juga dengan sentuhan-sentuhan ringan, di mana keakraban antara satu pihak dengan pihak lain dijadikan sarana untuk memuaskan hasrat yang paling kecil. Kalau kita mau memperhatikan: lebih banyak mana, perempuan yang dicubit oleh laki-laki atau laki-laki yang dicubit oleh perempuan? Kita pasti sepakat bahwa lebih banyak perempuan yang dicubit oleh laki-laki dibandingkan dengan yang sebaliknya terjadi.
Selain gangguan fisik yang nyata seperti telah disebutkan, ada juga gangguan non fisik pada perempuan yang bekerja bersama laki-laki. Gangguan tersebut dapat berupa gosip di mana perempuan sering dijadikan sebagai objek pasif bahan pembicaraan rekan-rekan laki-laki mereka sendiri (entah dengan kecantikan dan keindahan tubuhnya atau pun dengan ketidakcantikan dan ketidakindahan tubuhnya).
Tampaknya perjuangan kaum perempuan untuk penyetaraan gender masih harus menempuh jalan yang panjang. Di sini mereka tidak hanya berhadapan dengan lingkungan kerja mereka tapi juga dengan budaya yang melingkungi diri mereka sendiri. Perubahan yang mereka lakukan harus sejalan dengan perubahan pandangan pada pihak laki-laki. Artinya, cara laki-laki dalam memandang dunianya juga harus diubah sehingga mereka tidak lagi menggunakan kacamata tradisional.
Akan tetapi bukan hanya cara pandang kaum laki-laki yang harus diubah. Sebagian besar perempuan masih berpikiran tradisional di mana untuk jenis-jenis pekerjaan mereka masih mengalah pada laki-laki. Bukankah untuk pekerjaan-pekerjaan kasar perempuan cenderung mengharapkan laki-laki yang melakukannya? Dengan kata lain, untuk mencapai penyetaraan gender yang utuh, perubahan harus dilakukan oleh kedua belah pihak.
Jalan keluar untuk mencapai hasil yang maksimal adalah dengan memberikan wawasan pada anak-anak sejak usia dini. Wawasan tersebut penting ditanamkan sejak dini karena itulah yang akan dibawa oleh anak-anak untuk memandang dunia mereka. Kalau secara tradisional anak lelaki lebih dididik untuk berkompetisi, maka sejak dini anak perempuan pun harus dididik untuk berkompetisi. Kalau seorang anak perempuan menjawab, "Ingin menjadi suster," ketika sebuah cita-cita pekerjaan ditanyakan padanya, dia harus diberikan wawasan tentang pekerjaan-pekerjaan di mana laki-laki lebih dominan dan menjelaskan bahwa hal itu adalah sama.
Secara teoretis penerapan dari sistem ini dapat mencapai hasil yang bagus. Dewasa ini telah banyak terjadi perubahan. Akan tetapi satu hal yang tetap menjadi tantangan bagi perempuan: tampaknya masih akan dijadikan sebagai objek pasif!

Tidak ada komentar: