I
Kelahiranmu memintaku memutari jagad,
menyeru pada alam, pada anjing-anjing liar untuk melolong,
sekawanan burung malam menyerak di atap rumah-rumah
dan sekalian segenap hewan biar buas menggeram
Kudirikan pemujaan di legah tegal lapang
yang dipilihkan dewata
bagi tempat kau kuburkan aku
Berapa lama lagi waktu itu?
Hari, bulan, windu menyampaikan kedaraanmu;
meriap percik api pemujaan
O, sesanti penanti yang menikam....
Aku pilih tuah batu-batu hitam untuk kubur,
aku bangkitkan arwah seribu lembu jantan
dan menggembalakannya untukmu, Putri,
di pusat padang keramat terpilih
Tapi, keakuan raga mencemooh:
adakah semua ini menahanku,
hendak kuputar taman kayangan Sriwedari
bagi pangkuanmu seorang.
Tapi bukan itu yang tinggal padaku
Langit merah, kokok ayam, dan keramaian
layaknya pagi adalah tanda bagiku
Lagipula kejemuan menempuh berpuluh kota
berdinding tinggi dengan sembilan pintu gerbang
membekukan kaki-kaki kuda keretaku,
membawaku pada janji pertemuan denganmu...
Dan jika saat itu tiba kau 'kan tertegun
Malam-malammu akan memimpikan lelaki bertanduk
dengan barisan otot memanjang bagai beribu lembu
yang berbaris, yang sanggup menggali
sampai ke dasar bumi.
II
Selalu seperti kau menatap ke dasar sumur
menyisir kembali jejak langkahmu
menuju padang keramat yang kini
menjadi tungku penyekaman
melambaikan selendang hijau
melelapkan kegelisahan mimpi
dari abad-abad yang telah lewat
Angin-angin bergemuruh
membawakan gamelan lokananta dari kayangan
mengibarkan rambutmu yang hitam
O, perempuan yang kecantikannya
menyangga langit
amukku amuk arwah seribu lembu jantan
yang berderap menuruni gunung
melindas seluruh yang ada
mewarnai langit dengan busa abu
Selalu seperti kau turun dari gunung ini
berjalan bersejingkat agar tak membangunkanku
Tapi aroma yang meriap dari balik kembenmu
menghempaskan tidurku dalam igau
memanasi seluruh sisa darahku!
Windu-windu terlempit di dinding kepundan
seperti bangun di pinggir setumpuk kitab
mencari matahari yang selalu jauh
Dan bila bayangna purnama terangi tempat ini
terdengar kidung dari langit
O, dasar sumur terpilih
kapankah tiba waktu bagiku untuk bangkit,
apakah laut telah merengkuh daratan,
dan bumi bergetar seluruhnya?
Bagaimana, bagaimana, bagaimana teguh terus
dalam kekelaman ikhlas?
Kupilih batu hitam paling besar
melemparkannya tinggi-tinggi
dan menunggu dalam telanjang telentang
di tempat titik jatuhnya
Sudah tergurat dalam suratan alam
pecinta sepertiku mati membujur dendam
atau, haruskah perjanjian dengan dewata dilupakan...
Selalu, selalu, dan akan selalu seperti kau
bersandar ketakutan menatap dasar
dalam malam bertemaram senandung purnama
Kau persembahkan angin, korban-korban, sesaji
Sebuah palah kau bangunkan
Adakah tuah di dunia mengubur sukmaku!
III
'rontak tiap gusarku ini
juga resah gelisahi kodrat,
bahwa mulut kepundan mudah
didaki, dan sekali
gedrug gemeludug
bumi kayangan
ada suatu pasti ketika:
maka menangislah aku lalu
jiwa penggelisah ini
- memang harus - terkurung,
dan diam;
bahwa di dasar gunung ini
sembilan cinta
berkekuatan lembu
terperipih
sedang langit,
peteduh akan satu kita,
mengarak teratai:
di kelam luhur ikhlas
di lantang lenguh jiwa
berterus teguh...
maka, untuk aku, berdoalah, putri
dari tiap suci wirid perawanmu
agar abu yang menyampiri angkasa,
dan semelang gemeludug bumi dan langit
menjelma puja;
maka, doani mana pintakan ini
selain engkau, kasih
bagi tiap jengkal kekalku
di dasar kepundan ini!
Surabaya, Oktober-Desember 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar